WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode : Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
======================= "Ini!" kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar. "Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?" Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang disodorkan. "Kalau dia banyak bacot.....," kata laki-laki berkumis melintang itu pula, "bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!" Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu. "Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!" Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya. "Brakk!!" Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri. "Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!" Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis. "Keparat!" maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti
itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya
betapa letih
badannya.
"Ludjeng!" teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk
bergegas.
"Ya, Denmas Sura....".
"Kau juga keparat!" damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya
menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa
kau sudah gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!."
Wilujeng terdiam
dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia
memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar
dia memanggil
dengan nama Mahesa Birawa.
"Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!"
"Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa....."
"Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!"
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa
segelas air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali
sedikit.
Kemudian dia
duduk tenang-tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka
kembali terbayang saat setahun yang lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis
itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di
tepi kali tempat
mencuci, dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis
itu. Memang akhirnya Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali,
tapi ini bukanlah
karena dia suka terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi
celakanya Suranyali salah tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah
terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum
pergi, Sura menemui Suci dan berkata, "Suci, aku akan pergi ke Gunung
Lawu. Mungkin
satu tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar.
Jika aku kembali aku akan mengawini kau....."
"Tapi Kangmas Sura....."
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali
melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya. Suci
mundur.
"Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang....."
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk
menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak
lamaran tadi! Dan dalam
kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng
seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci
perkawinannya dengan
Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali
karena memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tak pernah
menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka
kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah
amarahnya ialah
bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan
sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana
tapi bahagia
dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri,
sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur
karena adalah memalukan
sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak
mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar
Suranyali bukan
manusia berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka
hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa
sepucuk surat
ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya
ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah
ke jendela dan
memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya
mencengkeram sanding jendela.
"Suci musti dapat..... musti dapat!" katanya dalam hati yang dikecamuk
amarah itu.
"Kalau tidak.....," Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai
gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu
sanding itu pecah
berantakan!!
DUA
Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah
mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya
dengan
membentak kasar, "Ini rumahnya Ranaweleng?!"
Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri
nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya
dan dikeataskannya
topi bambo yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah
bicara kepadanya. Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan
melirik kepada
Saksoko yang duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
"Orang tua bego!" maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini
memang bersifat tidak sabaran. "Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!"
"Ya!" jawab Kalingundil.
"Ada keperluan apa Saudara?"
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak
enak didengar. "Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun
minggirlah!"
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke
depan maka terpelantinglah si orang tua kena terajakan kaki binatang
yang ditunggangi
Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur
dimakan umur kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya
secara acuh tak acuh
topi bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam
kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik
dahsyat. Kedua
kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke
tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi
apa-apa dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti
rerumputan di
halaman! Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk
beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
"Saksoko, ada apa dengan kau?!" tanya Kalingundil terkejut dan heran.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Saksoko seraya bangun dengan
menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tidak ada
siapa-siapa kecuali orang
tua yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu
membetnur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya
curiga. Tapi
bila dilihatnya lagi orang tua kurus dan bongkok itu kecurigaannya
menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin kalau kakek-kakek
pikun itulah yang
telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya.
Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya.
Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata,
"Kurasa orang tua
kerempeng itu....."
Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam
ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
"Mana mungkin," kata Saksoko pula tidak percaya.
"Coba kita lihat."
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di
tanah. Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada
orang tua yang masih
jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil
menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat
deras ke arah kepala
si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu
gerakkan tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan
adalah mengejutkan
kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat
bagaimana topi bamboo itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil
dan Saksoko saling pandang.
"Apa kataku, kau lihat?" desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
"Orang tua edan!" makinya. "Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih
pamer!" Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya
ke arah si
orang tua. Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka
pasir itu melesat hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk.
Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang
membersihkan debu dari pakaiannya.
Tapi gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus
yang menyerang ke arahnya!
"Kurang ajar betul!" damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan
dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak
dilepaskannya
pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke
samping.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, "ada
apa kau serang aku?!"
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko
hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya. Saksoko kertak rahang.
"Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!"
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang
sepotongpun. "Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!," katanya dan
didorongkannya
telapak tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh
Saksoko. Kalau tidak cepatcepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini
akan mendapat
celaka.
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang
tua itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:
"Ada apa di sini?! Tahan!!"
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda
berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga
langkan. Kemudian
dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski
hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat
isyarat kawannya
itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
"Kau Ranaweleng?" tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng
dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari
tampang-tampang serta
sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu
datang bukan membawa maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia
menjawab:
"Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng," lalu tanyanya kemudian,
"Saudara-saudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya. "Ini! Silahkan
dibaca!" katanya. Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan
Ranaweleng. Karena
lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut
melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada
tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang
menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko
memperhatikannya
dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki
dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan
istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi,
jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam
esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah.
Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu,
bahkan juga tak
pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya. Matanya
memandang melotot pada kedua tamunya. "Mahesa Birawa ini siapa?" tanya
Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. "Laki-laki yang
kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!"
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko
sudah mendahului. "Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga
Ranaweleng!"
Kalingundil menyambungi, "Dan sebaiknya..... apa yang tertulis di surat
itu kau ikuti saja."
"Kalau tidak?," tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan
coklat kehitaman. Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya.
Diremasnya dan
dipatah-patahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala
Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu!
"Bangsat rendah!" hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. "Kau berani
berlaku kurang ajar terhadapku, huh?!"
"Tak usah jual lagak di sini, setan!" balas menghardik Ranaweleng.
"Kalian budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang
sama itu manusia
Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati
otaknya yang tidak waras!"
"Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!" semprot Saksoko. Dari
tadi dia memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah
mempermainkan
dan setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu
tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut
Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan
kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke
tulang iga lawan.
Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil
melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan.
Ranaweleng merunduk
dan lompat ke samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke
punggung lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka
terdengarlah
suara seseorang.
"Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk
kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit
pelajaran sopan
santun terhadapnya!" Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta
kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan
pembantu Kepala
Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko.
Dia membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak
jauh yang
menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di
dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut
nyawa si orang
tua detik itu juga!
Tapi Jarot Karsa ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang
kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek
Saksoko. Angin
pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah
dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan
olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan
menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu
segera rebah lagi
setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan
segar! Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi.
Laki-laki ini menerjang
ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek
membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh
Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan
darah di tubuh
orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu. Jarot Karsa
cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan
bertemu di udara
menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa
kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi
cepat bangun
lagi.
Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya
menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa!
Tak diduganya
sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan
tenaga dalam Jarot Karsa!
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya
karena amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa
sesungguhnya si
orang tua bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan
itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan
gerak gerik
manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan
Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.
"Ha.....ha....," terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, "Kau hendak
pamerkan ilmu lengan tangan baja?!"
Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah
mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak
diperlihatkannya, bahkan
dia pentang mulut.
"Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan
ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!"
"Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!" tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan
rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang
besarnya hampir
menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring! Sebenarnya Jarot
Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang
tua yang
sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih
menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
"Ayo monyet kesasar, majulah!" katanya dengan terbungkuk-bungkuk. Kedua
telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka,
sedikit miring.
Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu
kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji 'lengan
tangan baja.' Angin
yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang
kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang
Jarot Karsa,
kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan
kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa.
Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur
berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus
darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah.
Nafasnya sesak,
lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya
melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah
menyembur dari
mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan
menyusul kawannya yang terdahulu.
Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang
melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. "Bapak
Jarot Karasa,
kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?"
Jarot Karsa menggeleng. "Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah
mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat manusia itu
pasti datang
ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!"
Ranaweleng mengangguk. "Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih lama
di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot."
Si orang tua tertawa mengekeh. "Tak usah khawatir...... tak usah
khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden."
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh
Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar
halaman.
TIGA
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur
ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda
yang memasuki
pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya
yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia
turun ke
tanah.
"Ada apa dengan kalian?!" tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir
merupakan teriakan. Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil
dan Saksoko
turun perlahan-lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka
keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua
anak buahnya
itu mendapat luka dalam yang parah.
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada.
Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua
kakinya di tanah segera
tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan! Mahesa Birawa melompat dan
cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil
dan dimasukkannya
ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada
Kalingundil.
"Telan cepat!," katanya. "Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan
darahmu!" Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk
bersila di tanah
untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga
dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih
berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.
"Sekarang!" kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak
meja, "terangkan apa yang terjadi Kalingundil!"
Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu
mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai
mendengar keterangan
itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya
yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam
keadaan
melotot seperti mau tanggal dari rongganya!
"Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian
bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!"
Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu
mengepul,
pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada
Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam
ke muka
dia berkata, "Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya
yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa
Birawa....."
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama
selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan
macam begini! Bahkan
dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika
Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda
itu. Ketika
Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di
belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan
tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
"Laki-laki tua
yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku
dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali....."
"Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!"
membentak Mahesa Birawa. Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan
saat itu dendam
serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu,
terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang
suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian
atau belum kesampaian
membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat
itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya
semakin tambah
cantik dan muda jelita. Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan
Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan
garangnya.
"Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!" suara
Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga
dalam yang
tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua
kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah,
beberapa tombak di
hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng
sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua
ini.
"Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?!
Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah
kasih tahu
padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!"
Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung
jari-jari kaki! "Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau
harus pasrahkan
nyawa kepadaku!"
Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh
melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum
angin sedahsyat
badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin
pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah
Ranaweleng. "Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia
pengacau ini!"
"Ah Raden....," kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di
udara. "Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah
Raden bersusah
payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!"
Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul.
Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang
rupanya ingin
menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas
mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling
bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan
pekak. Tubuh
Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan
Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main.
Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit
tertahan karena
menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam
Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot
Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera
melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir
tak kelihatan,
menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. Hampir
dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya
memerihkan
matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula
gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi
berlalu, maka
Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya
harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu
sudah hampir
tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu
serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu
gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan
ilmu mengentengi
tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku
kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan
sekaligus tangannya
yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.
"Buk!!"
Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong
menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada
kirinya.
Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu,
Jarot Karsa tertawa mengekeh.
"Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama
kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat
benjut macam mangga busuk!"
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan
kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi
ke belakang
di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa
kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.
"Bangsat tua bangka!" kertak Mahesa Birawa, "lihat tangan kananku.
Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!"
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan
kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski
dia sudah
hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan
setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga
hatinya
meliahat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak
tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!
Akan tetapi Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi
hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan
pada Jarot
Karsa dengan mempergunakan ilmu "menyusupkan suara."
"Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah
pukulan uKelabang Hijau - Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!"
Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. "Pukulan Kelabang Hijau....,"
keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak
menyaksikan sendiri.
Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang
memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak
Gajah yang
diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki
ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya
menunjukkan mimik mengejek. "Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu
ditakutkan....!"
kata seorang tua
bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui
ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. "Kalau
sudah tahu mengapa
tidak segera berlutut, anjing tua?!"
"Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa.
Terimalah ini....!" dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan
tangan kosong
yang dahsyat. Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut
itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki
ini meninjukan
tangan kanannya ke muka!
Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat
ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang
tua itu sendiri!
Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan
Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup
mukanya dangan
kedua tangan. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya
terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. Dia mengerang dan
menggelepar-gelepar seketika,
kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
"Manusia biadab!" bentak Ranaweleng. "Orangku tiada permusuhan dengan
kau. Mengapa kau bunuh dia?!"
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. "Sebentar lagi kau juga
akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau
angkat kaki
dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di
depan mata!" dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
"Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!" teriak
Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.
EMPAT
"Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di
tanganku!" bentak Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk
menangkis pukulan
lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke
belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja.
Lengan Ranaweleng
yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih.
Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit. Dia maklum bahwa tenaga
dalamnnya
lebih rendah dari lawan.
Karena itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
sampai ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu
di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang
berkelahi itu. "Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini!
Hentikanlah!"
Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi
Mahesa Birawa. Dan dia berteriak lagi, "Kalian berdua tidak mempunyai
permusuhan mengapa
musti berkelahi?!"
"Suci masuklah ke dalam!" sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu
dia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak
Mahesa Birawa
sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan
perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih
cepat menamatkan
riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan
kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat.
Pukulan-pukulan
tangan kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak
keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi
tubuh, Ranaweleng
berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh
Mahesa Birawa laksana bayang-bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada
jurus ke sepuluh
satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan
Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan. Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia
tahu, sekurang-kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya
di bagian dalam
terluka hebat! Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan
pemandangan mata berkunang-kunang.
"Ha.... ha....," tertawa Mahesa Birawa. "Sebentar lagi Ranaweleng,
sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta
tobat pada Tuhanmu
sebelum mampus!"
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua
tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan
tangan kosong yang
dahsyat. Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya
tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke
segenap bagian
tubuh untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut
Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin
Panas menderu
ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga
tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya,
membakar hangus
pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah
laksana seekor elang. Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng
membutuhkan
pemusatan tenaga dan pikiran yang besar.
Beberapa detik sesudah dia
melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh
pemusatan pikiran
itu sehingga pada saat lawannya menukik dari atas dia terlambat
meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima hantaman
lawan. Kali ini badannya
hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia sempat menggulingkan diri
kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah
bawah perutnya
menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan
dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari
balik pinggangnya!
Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa
berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka,
tangan
kanan diangkat tingitinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah
menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti
keras. "Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!"
Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. "Jika kau
punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!" katanya
mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya.
Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi
kedahsyatan pukulan
Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai
seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam
kamus hidup
Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai
pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul
menginginkan nyawanya.
Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap
sia-sia saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan
kanan Mahesa
Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa
nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti
yang saat
itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan
Kelabang Hijau!
Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa
cepat meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci
menyentuh tubuh
suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di
tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini
akan meregang
nyawa pula!
"Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!" pekik Suci.
"Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan
Suci....!"
"Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!"
"Kau masih terlalu muda untuk mati....!"
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera
membopong Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan
menjerit-jerit serta
memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar
di pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang
anak buahnya. "Bakar rumah keparat itu!"
Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu.
Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung
Jatiwalu itu dalam
kobaran api. Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian
dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya
segera ditinggalkannya
tempat itu. Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar
melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang membakar
rumah.
"Bayi itu! Bayi itu....!" teriak salah seorang di antara orang banyak
yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
"Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!"
"Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!"
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka
berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi
semakin lama semakin
kecil serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di
mana bayi itu terbaring! Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat
hati itu hampir
tidak lagi kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa
yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada saat
itu pula,
entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan
lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu
keluar lagi dan
melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu
orangpun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul
bisa memastikan
bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau
dedemit! Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh
itu laki-laki
atau perempuan juga tak satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia
datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja
yang bisa dilihat
mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok
tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk
dan lidah
api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah
laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di
situ tahu, bahwa
sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke
arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas
tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka
meluncurlah seruan
tertahan dari mulut laki-laki ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat
yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu.
Tulisan itu dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau
bukan manusia
yang mempunyai tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan
sanggup membuat tulisan semacam itu pada dinding kayu jati yang keras,
karena tulisan
itu dibuat dengan mempergunakan ujung jari!
Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang
semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu
terdengar suara
lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti
dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara
gelak membahak
lain! Jelas bahwa ada dua manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan
keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada.
Bertempur sambil
tertawa-tawa!
Siapakah mereka ini?! Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan
pakaian serta kain hitam adalah seorang nenek-nenek berkulit sangat
hitam berkeringat-kerinyut.
Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis
pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan
kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan
demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba
hitam itu maka
rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut
yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir
membotak
licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini,
nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu
tidaklah tersisip
disela-sela rambut yang putih karena memang tidak mungkin untuk menyisip
di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke
kulit
kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang bernama Eyang Sinto Gendeng,
seorang perempuan sakti yang telah mengundurkan diri sejak dua puluh
tahun yang lalu
dari dunia persilatan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan
itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan
di daerah
Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah. Selama itu pula dia
telah menyapu dan membasmi habis segala manusia jahat.
Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto
Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran kalau namanya
menjadi harum.
Nama asli dari perempuan ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan
tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali seperti
orang yang kurang
ingatan maka lambat laun dunia persilatan menganugerahkan nama baru
padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang
saat itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang pemuda belia
remaja yang
baru memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah
dan kulitnya bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya
gondrong sebahu
dan agak acak-acakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras
kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur karena
pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah murid Eyang Sinto Gendeng
sendiri! Bagaimana
sikap tingkah laku gurunya, demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa
dan menjerit-jerit serta cengar cengir! Meski keduanya tengah melatih
ilmu kepandaian,
namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan
adalah benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati
dapat mencelakai
diri! Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pohon berguguran, semak
belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua
orang itu yang
laksana bayang-bayang! Di tangan kanan Sinto Gendeng ada sebatnag
ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
"Ayo Wiro! Serang aku dengan jurus 'orang gila mengebut lalat'! Serang
cepat, kalau tidak aku kentuti kau punya muka!"
Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya
sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba suara
tawa membahak
itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun
pepohonan!
"Ciaaat....!!" Bentakan setinggi jagat keluar dari mulut Wiro Saksana.
Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam
kecepatan
yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila
mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu
meskipun luar biasa
cepatnya namun kelihatan seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro
Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si
nenek sakti
Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang
petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja
yang dihadapi
oleh Wiro Saksana saat itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti
macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan
terkutung-kutung
atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang
menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik. "Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat, masih
kurang cepat!" kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
"Eeeee.... kau memaki ya?!" hardik Sinto Gendeng. "Lihat ranting!"
teriak perempuan tua itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting
bergerak.
"Awas ketek kananmu, Wiro!" (ketek=ketiak).
Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan
yang luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya
ke ketiak
kanan Wiro Saksana.
"Breeett!!" Baju putih Wiro Saksana robek besar di bagian ketiak sebelah
kanan!
"Buset....! Untung cuma ketekku!" seru pemuda itu.
Dengan kertakkan
geraham dia menerjang ke muka. "Eyang," katanya, "terima jurus u kunyuk
melempar buah
u ini!" (kunyuk = monyet).
"Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!" menyahuti sang guru.
Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya
perpentang lurus
maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana
batu besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan
disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena diisi dengan tenaga dalam,
ludah itu berbahaya
sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke
samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah
perbawa dorongan
pukulan tangan kosongnya tadi yaitu u kunyuk melempar buah u yang agak
menyendat sedikit akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya,
kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali
sifatnya. Bahkan
setiap jurus-jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama
aneh dan lucu. Tak salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan
menukar
namanya menjadi Sinto Gendeng!
Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan
nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir
balik dan
melesat seperti terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus
Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras "kunyuk melempar
buah." Angin
keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu
patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa mengikik. Gemas sekali Wiro Saksana memandang
ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enak-enakan di cabang pohon jambu
klutuk sambil
menggerogoti buah jambu itu!
"Gendeng betul....!" gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai
pohon.
"Memang namaku Sinto Gendeng!" kata sang guru pula. Kemudian tanyanya,
"Kau mau jambu, Wiro?!"
Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah
menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir
biji jambu klutuk
menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
"Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!," jawab Wiro Saksana. Dia menghembus
ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir
biji jambu
klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik
menyerang Sinto Gendeng. Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki
kanannya, maka
nenek-nenek sakti itu membuat ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
"Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!" kata Sinto
Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke
bawah, mendesing
laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng
benar-benar seorang perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya
setiap serangan
yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau
sekurang-kurangnya bisa menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak
berhati-hati.
Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia
gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah
dua tepat di
pertengahannya dan jatuh ke tanah.
"Sebaiknya turun saja dari pohon eyang" kata Wiro Saksana. "Kalau
tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" memotong Eyang Sinto Gendeng.
"Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu biar konyol!" Habis
berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk
tujuh yang
di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena
cepatnya.
Namun empat detik kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto
Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang
dilemparkannya tadi
berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro
Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. "Ini balasan kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!" Sinto
Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut
putih dan jarang
itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya
maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu
menyerang kepala,
yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki
senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung
tenaga dalam.
Didahului
dengan bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan
badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus
amblas ke
dalam tanah!
Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. "Bagus...., bagus kau tidak
menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam
yang bagaimana
hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee.... aku
haus! Hik.... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!"
"Kalau haus jilat saja air keringat!" kata murid yang lucu dan seperti
kurang ingatan pula macam gurunya. Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia
aneh, dia
sama sekali tidak marah mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya
itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. "Air, Wiro! Lekas!" bentak perempuan itu. Sang
murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil.
Di bagian
belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro
mengambilnya segayung.
Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memberikan air itu
kepada gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto Gendeng menyanyi.
Suaranya sama sekali
tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu membuat
Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua,
Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun saat pembalasan).
ENAM
Selama diam di puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau
bagaimanapun miring otak sang guru, namun baru hari itulah Wiro Saksana
melihat dan mendengar
Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa
membuat Wiro jadi berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu?
Perasaan yang
bagaimanakah yang tengah dicetuskan oleh gurunya karena Wiro melihat
nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh perasaan, dengan mata memandang
jauh ke muka.
Tujuh belas tahun membuat aku si tua bangka tambah tua. Kata-kata ini
jelas ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi pada siapakah ditujukan
kalimat yang
berbunyi: Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah,
itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian
kalimatkalimat:
Tujuh belas tahun ujung perpisahan.... serta.... Tujuh belas tahun saat
pembalasan....
Apakah arti semua itu? Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada saat
itu pula Eyang Sinto Gendeng melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari
Wiro Saksana,
meskipun cuma sekilas, namun masih dapat melihat pantulan air muka serta
cahaya mata gurunya yang lain dari biasanya!
Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih!
Perasaan apakah yang menyemaki hati sang guru sebenarnya? Tiba-tiba
Eyang Sinto Gendeng
membentak keras sampai Wiro Saksana terkejut dan serasa terbang
nyawanya.
"Tunggu apa lagi, geblek?! Orang sudah haus dianya tegak mematung!
Kukencingi kepalamu baru tahu! Lemparkan gayung itu cepat!"
Dan Wiro Saksana segera lemparkan gayung batok kelapa yang berisi air ke
atas. Gayung itu melesat ke atas tanpa setetes airpun yang tumpah!
"Bagus Wiro.... bagus sekali!" memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan
kirinya disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang
kurus dan
kerinyutan itu kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air
itu diteguknya sampai habis.
"Terima gayung ini kembali, Wiro!"
Gayunng melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut
tapi pada detik itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan
tangan kanannya.
Angin deras mendorong kepala gayung, membuat gayung yang hendak
disambuti Wiro Saksana itu mencelat ke samping dan menyerang dadanya!
"Gila betul!" bentak si pemuda. Cepat-cepat dia palangkan lengannya di
muka dada. Gayung dan lengan beradu. Gayung pecah berantakan ke tanah,
gagangnya
patah dua!
Pada saat itulah Sinto Gendeng melayang turun ke bawah. Kedua kakinya
menjejak tanah tanpa suara dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun
padahal cabang
pohon jambu klutuk dari mana dia meloncat tadi hampir empat tombak
tingginya. Dapat dibayangkan bagaimana luar biasanya ilmu meringankan
badan perempuan
sakti ini!
Kedua orang itu, guru dan murid berdiri berhadap-hadapan. Wiro Saksana
dapat merasakan betapa lainnya pandangan kedua mata Sinto Gendeng
kepadanya, pandangan
yang tidak dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa
langkah ke belakang. Kedua kakinya kemudian merenggang sedang kedua
tangan mengembang
ke muka. Mulutnya berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke
dalam tanah sampai tiga senti sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Mukanya yang
hitam dan berkerinyut itu basah oleh keringat.
Tiba-tiba kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana
kedua tangan gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari
tangan perempuan
itu memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan!
"Eyang!" seru Wiro Saksana. "Apakah kau mau bikin aku mati konyol dengan
Pukulan Sinar Matahari itu?!"
Sinto Gendeng tidak menjawab. Mulutnya semakin mengemik.
Rahang-rahangnya semakin mengatup dan pandangan mata serta tampangnya
sangat mengerikan! Merinding
bulu kuduk Wiro Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu.
Tanpa menunggu lebih lama, tanpa menunggu sampai kedua tangan yang
mengepal dihantamkan ke muka, maka pemuda ini cepat-cepat pentang kaki
dan dekapkan lengan
di muka dada. Matanya meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya
amblas dua senti ke tanah. Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun,
laksana gunung
karang yang keras membatu!
"Ciaaaaaaatttt" Bentakan Sinto Gendeng melengking melanglang langit!
Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum sinar putih yang
menyilaukan serta
panasnya dapat menghanguskan dan melelehkan benda apa saja menggempur ke
arah sasaran di muka sana yaitu tubuh Wiro Saksana!
Pada detik yang sama Wiro Saksana membentak pula.
"Heeyyyaaaaa!" Tangan yang tadi bersidekap dengan serentak memukul ke
depan.
Dan kedua tangan itu terus saja terpentang lurus ke muka. Inilah
apa yang dinamakan
ilmu pukulan "benteng topan melanda samudra"! Ilmu pukulan ini bukan
saja dapat dipakai untuk menyerang tapi sesuai dengan namanya juga dapat
menjadi perisai
tangguh atau benteng kekar yang melindungi Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan itu sama bertemu di udara maka
terdengarlah suara berdentum yang menyenging liang telinga, debu dan
pasir beterbangan, daun-daun
pohon berguguran bahkan ranting-ranting kering patah-patah dan
berjatuhan! Puncak Gunung Gede bergetar. Langit seperti mau terbelah
oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke tanah, ketika keadaan di sekitar situ
menjadi terang kembali maka Wiro Saksana melihat bagaimana kedua kaki
gurunya amblas
ke dalam tanah sedalam sepuluh senti. Muka perempuan itu penuh keringat
dan matanya menyipit. Namun bila ditelitinya pula keadaan dirinya maka
didapatinya
kedua kakinya tenggelam ke dalam tanah sampai sebatas betis. Sedangkan
tubuhnya yang memercikkan keringat dingin itu terasa masih bergetar
gontai akibat
adu tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi!
"Bagus Wiro, bagus sekali!" terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji
namun dari mukanya bukan menunjukkan kegembiraan, sebaliknya muka yang
berkerut-kerut
itu masih memancarkan kengerian. "Sekarang sambuti pukulan angin es ini,
Wiro!"
Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua
tangannya dengan telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya.
Matanya kembali terpejam.
Wiro menunggu dengan badan tiada bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng
memutar-mutar kedua tangannya maka kesejukan itu mendadak sontak berubah
menjadi udara
yang sangat dingin menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham
Wiro Saksana bergemeletakan menahan rasa dingin yang amat sangat itu.
Permukaan kulitnya
membeku seperti ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran
es. Satu menit saja hal itu berlangsung lebih lama pastilah tubuh pemuda
ini menjadi
beku membatu. Inilah kehebatan ilmu kesaktian yang bernama "angin es"
itu!
Dengan badan bergetar menahan dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya diputar-putar ke udara angin
laksana badai menggebubu
ke pelbagai arah. Puncak gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yang
tadi kaku tegang oleh dinginnya udara kini kelihatan mulai bergerak,
makin kencang
u makin kencang. Udara dingin yang tadi menyayat sungsum kini tergetar
buyar dilanda ilmu "angin puyuh" yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan pemuda itu, semakin membadai gebubu angin,
semakin buyar udara dingin. Daun-daun pohon yang tadi hanya
bergerak-gerak kini
jatuh berhamburan bersama rantingnya. Kemudian satu demi satu
pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohon-pohon besar yang masih bisa
bertahan menjadi gundul
daun dan rantingnya! Tubuh Eyang Sinto Gendeng kelihatan tergoyang
hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar.
"Gila betul! Gila betul!" teriak perempuan sakti itu. Mulutnya
mengeluarkan lengkingan dahsyat kemudian dia melompat sejauh sembilan
tombak dan dari situ
mencabut sebuah tusuk kundai lalu menyambitkannya ke arah Wiro.
Sang murid cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke
samping. Tusuk kundai membawa angin maut itu melesat menghantam sebatang
pohon. Pohon
itu tumbang dengan batang pecah berkeping-keping!
Udara dingin lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali
sepeti sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya
berdiri memegang
sebentuk kapak yang aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih
lama benda itu, Eyang Sinto Gendeng ajukan pertanyaan, "Kau lihat
senjata di tanganku
ini, Wiro? Kau lihat....?!"
Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di tangan
gurunya. "Kali ini kau tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku,
Wiro!"
"Eyang Sinto.... apakah kau sudah gila hendak membunuh murid
sendiri....?!"
Perempuan itu tertawa mengikik. "Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak
percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau yang tidak tahu artinya
Gendeng!"
Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak aneh di
tangan gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar batu
bata. Gagangnya
putih bersih, mungkin terbuat dari gading menurut taksiran Wiro. Pada
batang kapak yang besar hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah
lobang-lobang
kecil. Ujung terbawah dari gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga
yang mulutnya membuka.
"Wiro!", kata Eyang Sinto. "Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus
berturut-turut untuk menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan
selamat. Kalau
tidak maka bersiaplah untuk mati konyol!"
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya
itu. Namun sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru:
"Ini jurus
pertama Wiro!"
Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya
membabat kian kemari dalam jurus "orang gila mengebut lalat." Ketika
tadi Wiro Saksana
memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya
sudah luar biasa apalagi kini penciptanya sendiri yang melakukannya maka
dahsyatnya
bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan karena
cepatnya. Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin
deras ini bukan
sembarang angin karena bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan
main, seperti lecet! Dan dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak
senantiasa
keluar suara mendengung macam tawon!
Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran
kapak bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam
yang menderu-deru.
Telinganya pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut
kepala naga-nagaan pada gagang kapak.
"Ciaaaaatt!"
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga.
Tangan dan kakinya sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan
menghindar dan menyerang
bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup menghadapi
senjata aneh yang dahsyat itu.
Apalagi senjata tersebut berada dalam
tangan Sinto
Gendeng dan mempergunakan jurus "orang gila mengebut lalat" yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaannya.
Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal sedikit
saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan
kena disambar
mata kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat
tinggi yang dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari
sambaran-sambaran
dan bacokan-bacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan
pukulan-pukulan tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya
terbendung bahkan
dihantam buyar oleh angin tajam yang menderu yang keluar dari senjata di
tangan gurunya.
"Senjata edan!" maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke
bawah. Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk
kedalam meluncur
ke arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke
bawah, mencari sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini pemuda
terpaksa jatuhkan
dan gulingkan diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus
pertama yang penuh kehebatan itu. Sinto Gendeng berdiri dengan dada
turun naik.
"Kini jurus kedua, Wiro!" katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar.
Tubuhnya membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di tangan kanan
dipegangnya lurus-lurus
ke muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto
Gendeng mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wiro tak
dapat memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu.
Mungkin sebentuk besi, mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya
ke kepala kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik kemudian lidah api yang
dahsyat menyambar
ke arah Wiro Saksana!
Terkejutnya pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke
udara. Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas
dan bila dia
melirik ke belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta
pepohonan terbakar berkobar oleh sambaran lidah api tadi!
Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang
pemuda itu untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro
bergulingan di tanah,
menghindarkan dengan sebat. Tanah yang tersambar lidah api kapak sakti
itu menjadi hitam hangus. Wiro leletkan lidahnya. Masih belum sempat dia
mengatur
nafas, tangan kiri dan tangan kanan Sinto Gendeng bergerak lagi
berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah lusin banyaknya
menyambar tubuhnya dari
enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya
komat-kamit. Aji angin
es yang ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang lidah api yang
menyambar tapi sama sekali tidak dapat melenyapkan hawa panas
lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi
langit melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari
sambaran-sambaran
lidah-lidah api untuk sesaat kemudian berguling di tanah dengan sangat
cepatnya, menuju ke tempat Eyang Sinto Gendeng berdiri. Sambil
bergulingan ini,
Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu "kunyuk
melempar buah" yang satu lagi "sinar matahari"!
Mau tak mau Sinto Gendeng hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah
jurus kedua itu! Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh berkeringat
dingin. Dibelakangnya
kobaran api masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan.
Gurunya dilihatnya berdiri tegak tak bergerak. Benda yang di tangan
kirinya tadi
ternyata adalah sebuah batu api dan kini sudah disimpannya kembali di
balik pakaian hitamnya.
"Jurus terakhir Wiro....!" kata Eyang Sinto Gendeng. Pemuda itu tahu,
kalau dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus ketiga
atau yang
terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-benar lebih
waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot
tajam-tajam
kedepan.
Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang
terbuka di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup
enam lobang
di batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal
diperbuat gurunya maka terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata
kapak itulah yang
mengeluarkan suara seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro
Saksana. Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah
di tubuh Wiro
seperti ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan,
menyendat-nyendat. Matanya mengabur, kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro
menghempos tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip!
Suara seruling
semakin kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga!
Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua
tangannuya menghantam
ke arah Sinto Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan
berlari-lari sebat mengelilingi pemuda itu. Wiro membentak, tapi
suaranya tidak keluar.
Dari melompat tapi tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan
dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan jernih
melintas di otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera
pendengarannya. Sukar sekali
mula-mula, karena saat itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan
darah! Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada pemuda ini
sanggup juga menutup
pendengarannya. Begitu suara seruling lenyap dari telinganya maka
perlahan-lahan tenaga luar dan dalamnya yang tadi punah kini datang
kembali. Tapi rasa
yang menusuk-nusuk pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap.
Karenanya, diaturnya jalan nafas dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling
sakti itu berhasil
dilawannya sedikit demi sedikit. Dan ketika dirasakannya sudah punya
kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini pura-pura jatuhkan diri ke
tanah, pura-pura
pingsan.
Namun begitu tangan kanannya menyentuh tanah, segera diraupnya
pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng!
Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji "angin puyuh" itu menderu ke
arah mulut naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir
lagi menyerang
ke muka Sinto Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari
mulut kepala naga dan cepatcepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang
menghambur
menyerangnya rontok kembali ke tanah!
Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik
pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah.
Wiro berdiri
tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan
memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng
mengatakan hanya akan
menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu
akan menyerangnya kembali! Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma
memandang saja
kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun
lamanya dia menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini
diketahuinya bahwa
Eyang Sinto Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang
demikian anehnya, tapi juga demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru
hari itu pula
gurunya menggempur dia dengan serangan-serangan yang benar-benar
mematikan. Serangan-serangan yang dilancarkan tidak dengan tertawa-tawa
sebagaimana biasanya!
Dihubungkannya pula dengan nyanyian yang dibawakan gurunya tadi!
Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana hari ini.
Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera
siapkan diri. Terdengar suara tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda.
"Gila betul!" maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang
Sinto Gendeng berkelebat ke arahnya!
DELAPAN
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata
hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia
duduk sebelumnya.
"Bagus Wiro.... bagus sekali," katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus
ke arah timur. "Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini,
ternyata tidak
mengecewakan....!" Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan
sehabis tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang
membuat hati Wiro
Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon
jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
"Dadamu sesak Eyang? Aku bisa tolong urut...."
"Diam!" bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
"Aku mau bicara sama kau!" kata Sinto Gendeng pula.
"Bicara apa Eyang....?" Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena
dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
"Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro?!"
"Murid tidak ingat...."
"Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau?!"
"Mungkin sepuluh tahun, Eyang...."
"Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!"
Wiro tertawa, "Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang," katanya pula.
"Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!" bentak
Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
"Kau lihat matahari itu?"
"Lihat Eyang...." jawab Wiro seraya memandang ke timur.
"Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan
matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih
seperti dulu
juga. Cuma yang tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar
yang banyak berobahnya!"
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah
dilihatnya gurunya bicara seperti itu sebelumnya. Kemudian terdengar
kembali suara sang
nenek. "Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau tinggal bersamaku. Belajar
tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala kesaktian. Tapi kau
jangan lupa! Kudu
inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan sama kau
semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali
tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau
mengerti, Wiro?"
"Ya, Eyang...."
"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah
menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau,
tapi hal utama
yang musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang
tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan
tekebur! Pakai semua
ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau
kau nyeleweng, kau akan dapat balasan sendiri di kemudian hari! Kau
musti ingat
bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa
diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?"
"Sadar, Eyang...."
"Ingat?"
"Ingat,Eyang...."
"Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi
aku tak mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada
ingat musti
ada lupa. Dan manusia manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap
akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kau
musti menanamkan
sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam aliran
kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas!
Sesuatu itu,
jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu
tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari
akar yang membuat
pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!"
Kesunyian menyeling beberapa lamanya. Kesunyian ini dipecahkan oleh
suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!"
"Eyang....," terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang
tiada disangkanya itu.
"Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu
bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku
telah selesai
dengan kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah
selesai dengan kewajiban kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu
dari-ku...."
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa
yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan
peri kehidupannya.
Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun
masa perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan.... Eyang Sinto
Gendeng
tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di hadapan
muridnya.
Dan mulai lagi bicara.
"Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro!
Dua bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi
pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?"
tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang
berlainan? Tapi merupakan pasangan?!"
"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api
ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada
kaya. Ada
buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada
tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek! Semuanya selalu begitu Wiro,
Kemudian.... ada
susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu
yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan
kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Goblok!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan
manusia! Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau,
lain tidak!!
Ibu kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua
manusia ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh
Gusti Allah!
Hal-hal yang dua itupun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti
Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki juga Dia ciptakan perempuan. Gusti
Allah bikin
langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang
senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin.
Sekarang
aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak
ubahnya seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan
seterusnya.
Angka dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan
semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah!
Kehidupan dua dan
satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak
bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia! Manusia pasti akan
merasakan
senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan
manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung
kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki
angka dua
yang sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki!
Nah, bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya?! Aku sudah
bilang sama kau
bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih
kurang ngerti, goblok?!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
"Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri. Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa
cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali
kapak saktinya.
Terkejut Wiro Saksana dan pemuda ini mundur beberapa langkah ke
belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi hingga kedua
matanya berair.
SEMBILAN
"Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut?!"
"Eyang mau bikin cilaka murid lagi?!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh
tombak ke
belakang.
"Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
"Tapi.... Eyang mau bikin apa?!"
"Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!!
Pejamkan matamu!"
Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu
dipejamkannya tidak rapat betul.
"Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng. Dan Wiro terpaksa menutup matanya
rapat-rapat.
"Buka bajumu!"
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap
memejam.
"Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya
kepadaku!", perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng
memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah satu jarinya
kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala
kapak yang
terbuat dari besi putih itu.
"Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan
sekali-kali jangan bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!"
"Eyang...."
"Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari
mulut naganagaan
di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum
putih.
Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro
Saksana. Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka
212. Pemuda
itu menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng
menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang
jarum hitam
meluncur dan menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana!
Pemuda ini menjerit lagi karena tancapan jarum yang 36 tadi telah
membuat dia tak sadarkan
diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti
jarum-jarum putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak
tangan kanan Wiro.
Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir
deretan angka-angka 212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama
juga juga
terdapat di telapak tangannya. Bedanya angka-angaka yang di telapak
tangan ini agak kecil dan berwarna putih sehingga agak samar-samar
kelihatannya.
"Berdiri Wiro!" perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan
oleh gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia
menjerit,
lalu roboh dan.... tak ingat apa-apa lagi.
"Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?"
Wiro mengangguk.
"Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur
ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk
menolong sesama
manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus
dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau
mengerti?"
"Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng
dari sebelumnya? Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!" Eyang Sinto
Gendeng tertawa
mengikik.
"Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula.
Lalu nenek-nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap
muridnya. Wiro
merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan
gurunya.
"Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang
aku mau bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula. Wiro berdiri.
Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya
benda-benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212.
Sepuluh tahun
lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun
lebih senjata ini berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan
senjata ini. Terimalah...."
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya.
Tak disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat
sakti itu.
Dia terdiam mematung seketika.
"Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang? Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini
untuk kau!"
Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu
menyentuh tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke
dalam tubuh
Wiro. Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat,
padahal dia merasa tingkat tenaga dalam yang sudah dimilikinya
sebelumnya sudah
mencapai tingkat yang paling sempurna!
"Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu
yang ada angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
"Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak
boleh kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau
terdesak hebat
atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam
kehebatan kapak itu tadi, tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu
bila kau tekan salah
satu bagian di bawah mata kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum
putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk membuat angka 212 pada dada dan
telapak
tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum semacam itu tadi. Cuma
jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga
tubuhmu akan kebal
terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai racun
yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa
mematikan
lawan!"
Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
"Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya
kepalanya yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah
tusuk kundai.
Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi:
Pitulas taun wus katilar....
Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
"Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?"
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya
kelihatan begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas
suaranya itu bergetar
tanda dia tak dapat menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
"Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada
di Gunung Gede ini bersamaku...."
"Mengapa demikian, Eyang....?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah
saatnya bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa
garis-garis kehidupanmu
sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah...."
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, "Sebelum kau
meninggalkan puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau
lakukan...."
"Tugas apakah itu, Eyang?" tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya
kepalanya yang berambut gondrong itu.
"Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku
telah mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja
berumur
dua tahun. Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai
ilmu dasar silat dan kesaktian. Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku
telah ketelanjuran
mengambil itu manusia menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung,
kubekali pelbagai nasihat tapi dasar Suranyali bukan manusia baik-baik,
begitu turun
gunung segala ilmu yang kuberikan padanya dipakainya untuk perbuatan
jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana! Menjadi kepala
perampok! Tukang
peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan merusak
kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah
dekat ke liang kubur!
Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya.
Kejahatannya akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari
takaran! Kini dia tengah
menyusun rencana busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya
banjir darah! Karena itu kau harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia
laknat
dan perintahkan kepadanya untuk datang ke sini menghadapku guna
mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama malang
melintang di dunia
sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah memakai nama baru
yakni Mahesa Birawa!"
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang
selama 17 tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu
adalah demi untuk
menjalankan tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya.
Dan
berkatalah pemuda itu: "Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana
jika itu manusia
Mahesa Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini....?"
"Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka
itu!" Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai
dimanakah ketinggian
ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu? Sanggupkah dia menghadapi manusia
yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri?!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro," kata Eyang Sinto Gendeng pula
tiba-tiba. Ini mengejutkan Wiro Saksana. "Suranyali memang sakti bahkan
kudengar dia
telah berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah
takut! Kau memiliki kapak Naga Geni 212. Dan kau berada dalam kebenaran
pula! Sesungguhnya
kau punya hak untuk membunuh itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas
yang aku pikulkan dibatok kepalamu! Kedua karena Suranyali atau Mahesa
Birawa itulah
yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!"
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah
kelam membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum
pernah dia
mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat
itu dadanya serasa mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta
dendam yang
tiada terkirakan!
"Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri
hampir menemui
ajal dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak
buahnya. Kebetulan sekali aku lewat disitu...."
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. "Terima kasih Eyang.... kalau
Eyang tidak ada...."
"Berdiri!" bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak
suka dilututi seperti itu. "Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti
Allah!" katanya.
"Ayo berdiri!"
Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas
tahun yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti
kata-kata dalam
nyanyian gurunya tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya
yang campur aduk. Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang
hendak tumpah
dari kelompok matanya!
"Eyang....," desis Wiro Saksana, "Sewaktu Eyang turun ke kampung
Jatiwalu itu, mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?"
Sinto Gendeng tertawa rawan. "Semustinya.... semustinya memang aku harus
turun tangan saat itu. Tapi ketika kutahu bahwa Ranaweleng u bapakmu u
mempunyai
seorang orok maka aku mempunyai pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu
dan kudidik ilmu silat seta kesaktian maka jika sudah besar dia lebih
mempunyai
hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias Mahesa Birawa. Kalau
tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia ini
tersimpul
dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas? Setiap
kejahatan ada pembalasannya? Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka
1. Suranyali
membunuh orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau
lupakan!"
"Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu
bersama anak-anak buahnya....?"
"Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu
ialah bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah.
Karenanya, seret
dia ke sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni
saja!!" (pateni=bunuh).
Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam
pikiran masing-masing.
"Kau akan segera berangkat, Wiro?" Pemuda itu tak segera menjawab.
Kemudian dia mengangguk perlahan.
"Ucapanku yang terakhir Wiro,
mulai saat kau turun gunung ini, pakailah
nama WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya
SABLENG."
Dan habis berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan
panjang. Namun tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang
rawan, sedih itu
untuk membendung air mata yang hendak tumpah keluar!
"Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya. "Selama langit masih biru, selama hutan
masih hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti
bertemu lagi Wiro
Sableng....!"
Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat itu pengunjungnya cuma beberapa
orang. Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi
perutnya
perih dan lapar, tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya dia masuk juga
ke dalam kedai itu. Wiro duduk di satu sudut. Kursi-kursi dan meja
lengket oleh
debu. Tapi pemuda rambut gondrong ini terus saja duduk seenaknya tanpa
mengacuhkan debu itu. Seorang laki-laki tua ubanan datang mendekatinya.
Dia adalah
pemilik kedai.
"Makan nak....?" tegurnya.
Wiro mengangguk. "Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!"
kata Wiro Sableng terus terang. Pemilik warung itu kerutkan kening.
Selama dia membuka
kedai di Jatiwalu itu baru hari ini ada seorang tamu yang datang di
kedainya dan berkata seperti itu. Matanya meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang
berdebu.
"Kau tentu seorang pendatang....", katanya.
"Betul," Wiro menggaruk-garuk rambutnya. "Tolong lekas nasinya, pak,
perutku sudah lapar betul....!"
Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu
diletakkannya di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini.
Selama tujuh
belas tahun di puncak Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur.
Kini menghadapi nasi putih dan ikan serta gulai yang lezat maka lahaplah
makan
Wiro. Keringat memercik di kulit mukanya. Kemudian diteguknya air. Pada
saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu maka masuklah empat
orang laki-laki.
Semuanya berpakaian serba hitam, memakai golok di pinggang.
Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan
duduk dengan seenaknya.
Keempatnya memelihara berewok. Pemilik kedai melihat kehadiran keempat
orang ini dengan cepat datang melayani. Agaknya keempat manusia ini
pastilah orang-orang
penting juga. Tak lama kemudian maka dihidangkanlah makanan yang
lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan dalam sebuah bumbung
bambu berikut
empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut
mereka terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja
pemuda ini
tak mau ambil peduli. Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun
dia tak akan ambil pusing! Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil
pemilik kedai.
"Berapa aku musti bayar?" tanya Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
"Waduh... mahal sekali!" keluh Wiro. "Tadi aku sudah bilang jangan
mahal-mahal..."
"Itu juga sudah sangat murah, Nak," kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Habis uangku buat bayar makanan
itu."
Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai. Pada saat
itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja seberang
sana. Salah
seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak
berkata,
"Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!"
Yang seorang lagi menyambungi, "Dari pada takut-takut keluar uang,
sebaiknya cari saja makanan di tong sampah!" Keempat orang itu tertawa
gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini
tenang-tenang saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis
panjang menjulai ke bawah bertanya, "Kau mau uang buat beli makanan?"
"Mau saja kalau diberi," jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi
kepalanya.
"Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan
kasih uang kepadamu" Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara
tertawa keempat
orang itu.
Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang
ambon yang berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan
gulai maka tertawalah
pemuda itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin keras dan dia
melangkah mendekati deretan pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh
uangnya yang masih
ada yang tak seberapa tapi cukup untuk membeli sesisir pisang.
"Aku beli pisangmu, pak," kata Wiro.
Diturunkannya sesisir sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus
empat buah pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya
masih terdengar
suara gelak tawa keempat orang tadi. Tiba-tiba hampir tak kelihatan
saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali Wiro
Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat
bahunya. Di belakangnya suara tertawa keempat orang tadi mendadak sontak
berhenti, berganti
dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke
dalam mulut empat manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk
tertawa, bernafaspun
mereka sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil
senyum-senyum melangkah terus sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang
dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak acuh ketika beberapa saat kemudian
didengarnya derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya.
"Bikin mampus saja sama kawan-kawan!" teriak salah seorang pengejar.
"Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!," kata yang
berbadan paling tinggi.
Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan
kanannya dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang
yang dimakannya.
Namun lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar
melemparkan kulit pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai
angin dahsyat
laksana tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu!
Betapapun mereka mempercepat lari mereka namun tetap saja mereka tak
sanggup mengejar
Wiro Sableng padahal kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan
tangan lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram,
menggapai-gapaikan tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat
menagkap punggung baju Wiro
Sableng! Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya seperti empat ekor
monyet yang menjadi gila mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang
dikejar terus
juga berjalan ongkang-ongkang bahkan sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng
telah mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin
berhembus tindih
menindih! "Gila betul!" teriak laki-laki tinggi jangkung yang lari
paling depan. Namanya Bergola Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari
tiga orang lainnya
dan dialah yang memiliki ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari
pinggangnya dan dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi
anehnya pisau itu melesat
kembali, berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak
cepat-cepat buang diri ke samping pastilah lehernya akan dimakan ujung
pisau! Akhirnya
dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya
hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta anak-anak buahnya
menghadapi
kejadian seperti itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga aneh tak
bisa mereka mengerti. Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai
orang yang paling
tinggi ilmu silat dan kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu
malunya bukan main! Untuk mencuci mukanya dia berkata menggerendeng:
"Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka
manusia!"
SEBELAS
Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara
berewok itu? Mereka menamakan diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng
dengan Bergola
Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang
malang melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya
di daerah
sekitar situ.
Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati
ditangan Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang
di kampung
Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan
Kalingundil dan tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda
Jatiwalu
maka Bergola Wungu yang saat itu berumur dua puluh enam tahun
meninggalkan kampung kelahirannya dengan satu tekat yaitu mencari guru
silat yang dapat mengajarkan
ilmu dan kesaktian kepadanya. Dia berhasil menemukan seorang guru dan
kemudiannya berhasil pula mendapat tiga orang anak buah, maka malang
melintanglah
Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu, menjadi kepala perampok
yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka
bersama ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi
sewaktu
sampai di Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana,
pergi keluar kampung dan tak satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong
dan sepi.
Bergola Wungu memutuskan untuk menunggu sampai musuh besarnya itu
kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil masih juga belum muncul. Mereka
duduk di dalam
kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun yang bisa
bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.
"Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundila.", kata
Ketut Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang
tadi itu benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk
menuntut balas
akan menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian
hebatnya, apalagi Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun
belakangan ini
adalah waktu yang cukup lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila
kehebatan anak buah Kalingundil seperti kenyataan tadi, ini adalah tiada
diduga Bergola
Wungu sama sekali!
"Tidak mungkina.," desis Bergola Wungu. "Tak mungkin manusia tadi adalah
anak buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar
manusia!
Dan aku ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku
kenal tampang-tampang mereka semua!"
"Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya
bertambah," menyela laki-laki yang bernama Seta Inging.
"Aku tetap tidak mau percayaa.!", kata Bergola Wungu. Dilambaikannya
tangannya pada pemilik kedai. "Sini!", bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
"Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?"
"Cuma tiga, Den. Cuma tigaa."
"Masih yang dulu-dulu jugaa.?"
Orang tua itu mengangguk.
"Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi?!"
"Tidak satupun, Dena."
"Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itua.?"
"Tidak ada, Dena."
"Dulu kudengar dia punya binia."
"Sudah meninggal, Dena."
"Juga seorang anak perempuana. Apa juga sudah meninggal?!"
"Tidak."
"Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?"
"Bapak tidak tahu, Dena."
"Dusta!"
"Sungguh tidak tahu, Dena."
"Bakar saja kedai ini!", ancam Ketut Ireng.
Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. "Jangan dena. sungguh
bapak tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini dena. Kasihani bapaka. Tapi
mungkin dia
ikut bersama Kalingundil. Mungkin jugaa. Mungkin juga menginap di tempat
bibinyaa."
"Dimana tempat bibinya?"
"Tidak tahu, Dena."
"Tidak tahu melulu!", bentak Bergola Wungu.
"Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh
Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh
dan disiksa,
masih saja melindungi manusia-manusia keparat itu!"
"Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya,
Den. Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan..........."
"Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!" bentak Ketut Ireng. Lalu
sambungnya, "jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui
Kalingundil
dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh
kampung inia.!"
"Oh jangan, Dena. Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat
bahwa kampung ini dulunya adalah kampung raden jugaa."
"Dulu!" kata Bergola Wungu, "tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku
ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini
berdiam
diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika
saudara-saudaraku ditebas lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai
kampungku? Persetan
sama kampung keparat ini!" Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke
meja. Papan meja pecah, gelas bambu mental terbelah dua!
"Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya
daya. Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggia."
"Diam!", bentak Bergola Wungu. Orang tua pemilik kedai itu diam
membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini, "Kau tahu siapa itu manusia rambut
gondrong yang tadi makan di sini?!"
"Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu......."
"Sudah pergi sana!" bentak Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan
ketiga anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser
tengikpun atas
apa yang telah mereka makan dan mereka minum!
DUABELAS
Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia
sama sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya
karena
menyangka bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat
tersebut. Tapi tangannya yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan
ketika di belakangnya
terdengar suara tertawa seseorang.
"Haa. haa. inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat
Kalingundil?!"
Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala.
Empat orang penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya.
Penunggang kuda yang
paling depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung,
berewoknya lebih lebat dari berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun
lebih angker.
"Hea. hea. cantik juga parasnya huh?!", kata laki-laki ini yang tak lain
dari Bergola Wungu adanya.
"Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah
demikian, Bergola Wungu?!"
"Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku
dan kalian semua!" Keempat orang itu tertawa bekakakan.
"Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa?!", bentak gadis berbaju
biru. Dengan enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang
tersisip di
pinggang.
"Eh, galak juga betina ini!", kata Ketut Ireng.
"Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan
diri. Namaku Ketut Irenga. Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk
pendek Seta Inging
dan ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau
tak keberatan kasih tahu namamua.?" Keempat orang itu tertawa lagi.
"Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan
pedangku!"
"Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!", kata Bergola Wungu sambil
usap-usap berewoknya. "Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke
liang kubur.
Itupun kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!"
"Mulutmu terlalu besar monyet berewok!", hardik gadis itu. "Aku mau
lihat apakah juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini?!"
Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang
ke arah kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola
Wungu sendiri
tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda
pastilah kepalanya akan terbelah dua. Tapi selagi tubuhnya melayang di
udara, maka
saat itu pula pedang di tangan si gadis sekali lagi membabat sebat.
Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke samping kiri. Pedang
si gadis yang
seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui sasarannya di leher
kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat sebelum
meregang nyawa.
Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang lainnya
latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja
tiga penunggangnya
sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar
mental! Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur
menerjangi batu-batu
nisan pekuburan!
"Iblis betina!", kertak Bergola Wungu. "Meski kau punya tampang cantik
dan tubuh mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya
batang leher?!"
"Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!" pedang di tangan si
gadis itu berkelebat lagi lebih cepat dan sebat.
"Sreet!" Bergola Wungu cabut golok panjangnya.
Dana.
"Trang!"
Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan
mata. Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru
terpental
beberapa langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih
tinggi dari
padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan
lengkingan dahsyat yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah
tubuhnya menjadi
bayang-bayang. Sinar pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan
anak kemarin.
Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat
Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun
lenyap
dari pemandangan.
"Breet.... breet.... breet.... breet....!!!"
Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya
merah gelap ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah
membuat lebih
dari sepuluh robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir
berada dalam keadaan setengah telanjang!
"Manusia binatang!" rutuk gadis baju biru. "Hari ini aku mengadu nyawa
terhadapmu!" Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya
menderu laksana
topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu
nisan sehingga terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang.
Tapi pada saat
itu lengan kiri Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan
kanannya, membuat pedangnya terlepas dan mental jauh.
"Ha.... ha.... hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!"
Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari.
Kembali terdengar suara: breet.... breet.... breet....! Dan kini celana
biru si gadis
yang menjadi sasaran ujung golok. Dalam waktu setengah jurus saja boleh
dikatakan gadis itu sudah hampir telanjang. Pakaiannya yang robek-robek
besar tiada
sanggup menutupi keputihan buah dada, perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah
anak perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun
ujung golok Bergola
Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin
baginya untuk lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa!
"Sreeta.!"
Ujung rambut gadis itu terbabat putus.
"Sreeta.!"
Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari
pinggangnya dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
"Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak. "Bunuh soal mudah!", katanya sambil
tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis itu. "tapi apa kau tahu bahwa
dulu sebelum
membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu memperkosanya?! Haa. haa.
Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!"
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang
lehernya ke muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung
golok digesernya
ke samping. Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan
sigap menyambar rambut si gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu
masih berusaha
menendangkan kakinya ke muka. Serangan yang tak berarti itu tidak
mengenai sasarannya. Bergola Wungu melemparkan gadis itu ke tanah
kemudian menyergapnya
dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang satu berusaha untuk
mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk menghancurkan
kehormatan itu!
"Kawan-kawan!", teriak Bergola Wungu. "Jangan diam saja! Gadis ini
adalah bagian kita semua! Ayo tunggu apa lagi?!"
Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu
pula. Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah
pekuburan! Menjerit,
berteriak, menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah
sinting kemasukan setan-setan kuburan!
TIGABELAS
Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat. Apalagi kini disertai dengan
dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan Nilamsuri benar-benar
sudah kepepet.
Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang tangan manusia menggerayang
di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam tua.
"Haa.ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan
hokum karma ini!" kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu
hendak mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada
bertenaga sama sekali
itu tiada terasa oleh manusia berewok itu!
"Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!", teriak Nilamsuri.
"Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!." Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan
oleh tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas
tahun itu,
Bergola Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan
Nilamsuri untuk bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu
bayangan putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya
agak membukit.
Dan tahu-tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku
tegang laksana patung batu! Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran
angin serta gerayangan-gerayangan
tangan pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya
yang berkaca-kaca itu. Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia
melihat bagaimana
keempat manusia berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata
mereka semua melotot dan tubuh mereka tegang kaku!
Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat
manusia itu? Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia
yang telah
menolongnya? Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa?
Diperhatikannya keempat laki-laki itu. Ternyata mereka tertotok urat
besar di pangkal leher masing-masing.
Atau mungkin keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan?!
Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan
dirinya sendiri saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur
segulung benda
putih yang tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini
adalah sehelai baju dan celana putih. Dan memandang pakaian itu
sekaligus mengingatkan
Nilamsuri pada keadaan dirinya. Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian
itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana pakaian itu bisa berada di atas
kuburan
tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar pakaian itu dan lari
ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat.
Meski agak
kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi
Nilamsuri dan si gadis merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya
keempat manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka
meluaplah amarahnya.
Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar
pedang berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan
anak-anak
buahnya.
"Tring!"
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang
yang hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan
batu kerikil
ini membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke
atas, lewat satu jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang
lainnya itu!
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu
dia membentak dan memandang berkeliling. "Manusia atau setan yang jadi
biang kerok
jangan sembunyi! Unjukkan diri!"
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon
kamboja kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan
kosong ke arah semak
belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh,
tapi tak ada siapapun kelihatan di belakang sana. Dengan gemas Nilamsuri
balikkan
tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah empat kepala manusia di
hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur senjata itu!
"Kurang ajar betul!", maki Nilamsuri. "Jika berani cari urusan, berani
unjukkan diri!!"
Terdengar suara tawa bergelak. Suara tertawa itu datangnya dari balik
pohon-pohon bambu di tepi pekuburan. Untuk kedua kalinya Nilamsuri
lepaskan pukulan
tangan kosong. Angin deras melanda pohon-pohon bambu. Batang-batang
bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang sedang
daun-daunnya luruh
ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan seorang
manusia pun dibalik pohon-pohon bambu itu! Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan,
"Hanya manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!"
Nilamsuri
memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh
kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini
hentakkan kedua kaki dan segera mengejar ke jurusan utara! Sampai
beberapa ratus tombak
jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum berhasil mengejar orang
tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan jejak
kakinya sama sekali
tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan pengejarannya di tepi
sebuah lembah. Di samping rasa geram hatinya juga heran dan
bertanya-tanya.
Siapakah
manusia itu tadi dan kemanakah lenyapnya? Apakah manusia itu yang telah
menolongnya dari perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya?
Sekiranya
betul mengapa lantas kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak
menebas batang leher keempat manusia berewok itu?
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti
kesunyian. Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang
dikenakannya. Pakaian
ini ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula
ditinggalkan untuk dipakainya oleh manusia aneh yang melarikan diri itu?
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan
serta merta tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon
waru terdengar
suara orang berkata. "Hendak kembali membuat kepengecutan? Membunuh
musuh yang tak berdaya? Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata
peradatan silat!"
Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah
pohon waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi
berkata telah
berkelebat laksana bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
"Manusia atau setan! Jangan lari!" teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia
mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar
lembah
maka orang yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini
loncat ke atas sebatang pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero
lembah
untuk menyelidik kemana larinya orang tadi. Namun ini juga tidak
memberikan hasil. Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari
lembah. Hatinya
belum puas kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di
tepi sebuah anak sungai
akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di
tepi sungai ini. Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu
yang dipanggang.
Bau ini dating dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan
air liur. Gadis ini langkahkan kaki ke hulu sungai.
Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan
sungai yang arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah
sungai, di atas
sebuah batu besar yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini
duduk membelakanginya dan rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih.
Tak tahu
Nilamsuri apa yang dibuat orang ini ditengah sungai ini di atas batu
itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang yang tadi
dikejarnya. Tapi
anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari arah
laki-laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati
laki-laki itu, untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya.
Nilamsuri masih belum
dapat melihat paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya
berdiri saat itu dapat disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik
seleranya
itu disebabkan oleh seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu
dan kini tengah digerogotinya dengan lahap!
Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti
sama sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana
laki-laki itu duduk
atau ditepi sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian
untuk membakar ikan yang kini tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut
gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
"Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini?!"
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan
dengan lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu.
"Saudara!", seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak
karena tak menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah
seorang pemuda bertampang
keren! Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan
lucu!
"Eha. kau bicara sama aku?" tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan
panggang itu.
"Ya! Aku tanya apa kau lihat seseorang lewat di sini?!" kata Nilamsuri
pula.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya si rambut gondrong.
"Laki-lakia."
"Orangnya sudah tua apa masih mudaa.?"
"Kurang jelas. Cuma dia berpakaian putih-putih...."
Si rambut gondrong melemparkan kerangka ikan yang habis dimakannya ke
dalam sungai. Kemudian dipandanginya pakaiannya sendiri. "Eh, aku juga
berpakaian
putih putiha.," katanya. "Kalau begitu pastilah aku yang kau cari!".
Pemuda ini garuk rambutnya dan tertawa.
Sikap dan ucapan pemuda ini agak mengesalkan Nilamsuri. Hatinya bimbang
untuk memastikan bahwa orang yang dikejarnya adalah pemuda itu. Karena
tampangnya
meski keren tapi seperti kanak-kanak.
"Eh, kenapa diam?!" tanya pemuda itu. "Aku tahua. aku tahua.," katanya.
"Tahu apa?"
"Aku tahu kau sampai ke sini karena mencium harumnya bau ikan
panggangku! Lalu kau berpura-pura tanya seseorang! Kenapa musti
pura-pura dan malu-malu? Kalau
doyan ikan panggang silahkan datang kemari. Aku masih ada seekor lagi!"
"Saudara! Jangan bicara seenaknya!"
"Seenaknya bagaimana?!"
"Aku betul-betul mencari seseorang! Dan aku tidak butuh sama ikan
panggangmu!"
"Oha. begitua.?". Pemuda itu manggut-manggut. Lalu katanya, "Kalau aku
tahu tentang orang yang kau cari itu, kau mau persen aku apa?"
"Apa saja yang kau mauia.", jawab Nilamsuri tanpa pikir panjang karena
dia betul-betul ingin lekas-lekas dapat mengejar orang yang dicarinya
tadi. Si pemuda
tertawa mengekeh dan tercekik serta batuk-batuk ketika ikan panggang
yang dimakannya menyekat tenggorokannya.
"Kalau begitua.," kata pemuda rambut gondrong itu dengan masih tertawa
serta batuk-batuk, "aku mau dirimu saja saudari."
"Pemuda ceriwis! Kutampar kau punya mulut baru rasa!"
"Lhoa," pemuda itu melongo macam orang bodoh. "Kenapa kau jadi marah?!"
tanyanya.
Benar-benar kesal jadinya Nilamsuri. Dikatupkannya mulutnya rapat-rapat
menahan rasa kesal itu.
"Eh, sekarang kau tutup mulut. Lucu! Kau toh belum jawab pertanyaanku,
saudari. Aku minta dirimu. Boleha.?"
Rasa kesal di diri Nilamsuri kini berubah menjadi amarah yang meluap.
Parasnya kelihatan merah. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan
pemuda itu, di
atas batu besar. "Pemuda edan, kau mau mampus?!"
Si gondrong garuk-garuk kepala. "Aku tidak mengerti saudari, aku
benar-benar tidak mengerti. Menapa kau jadi marah-marah begini samaku?!"
"Bicaramu terlalu kurang ajar, tahu?!"
Pemuda itu goleng kepala dan angkat bahu. Lalu tertawa sambil memandangi
paras Nilamsuri. "Kau tahu saudaria," katanya, "kalau kau marah-marah
dan membentak
macam tadi hema. parasmu tambah cantik!"
"Plak!"
Tamparan tangan kiri Nilamsuri mendarat di pipi si pemuda. Pemuda itu
meringis kesakitan.
Penyesalan timbul di hati Nilamsuri melihat
bagaimana pipi yang
ditamparnya itu kelihatan menjadi sangat merah.
"Kau jahat sekali!," kata si pemuda pula. "Aku tanya sama kau, kau mau
persen aku apa kalau aku tahu orang yang kau cari itu. Dan kau jawab apa
saja mauku!
Lantas aku bilang mau dirimu! Apa aku salaha.?!"
Nilamsuri menggigit bibirnya. Dia tahu ucapan pemuda itu betul. Dia tahu
kalau tadi dia telah ketelepasan bicara.
"Saudaraa," kata Nilamsuri.
Tapi si pemuda memotong. "Sudahlah. Aku tak sudi bicara sama kau. Orang
mau menolong dikasih tamparan. Baru mau menolong. Kalau sudah ditolong
aku akan
dapat tendangan!"
Dan Nilamsuri menggigit bibir lagi. Tanpa berkata apa-apa dia melompat
ke tepi sungai kembali.
"Hai saudari! Tunggu dulu!", seru si pemuda.
Nilamsuri balikkan badan.
"Sebenarnya ada apa kau mencari laki-laki itu?!"
"Itu urusanku sendiri!", jawab Nilamsuri.
"Laki-laki itu kekasihmu agaknya?"
"Kau mau tamparan sekali lagi?!"
Si pemuda tertawa. "Dunia serba aneh," katanya seakan-akan pada diri
sendiri. "Mustinya laki-laki yang cari perempuan. Ini perempuan yang
cari laki-lakia.!"
Dan digaruknya kepalanya.
Dalam pikiran Nilamsuri terbit prasangka bahwa tentunya pemuda itu
seorang yang berotak miring. Karenanya tanpa ambil perduli lagi dia
segera tinggalkan
tempat itu.
"Hai saudari! Kau tidak mau ikan panggang ini?!"
Nilamsuri terus saja menyusuri sungai menuju ke hulu. Dia hampir keluar
dari kelokan sungai ketika didengarnya lagi suara pemuda itu berseru.
Jarak antara
mereka saat itu sudah puluhan tombak. Kalau saja Nilamsuri mau berpikir
sejenak dia akan segera tahu kalau pemuda itu bukan berteriak biasa tapi
dengan
menggunakan tenaga dalam. Karena dalam jarak sejauh itu bagaimanapun
kerasnya seseorang berteriak namun apa yang diucapkannya tak akan
terdengar dengan
jelas.
"Saudari! Jangan pergi ke sana! Saudari, kembalilah!"
Nilamsuri melangkah terus.
"Saudari! Hai! Disebelah sana banyak buayanya! Kembalilah!"
Tapi Nilamsuri jalan terus. Si pemuda goleng-goleng kepala lalu turun ke
air. Nyatanya sungai itu dalamnya hanya sebatas lutut. Begitu sampai di
seberang
si pemuda cepat lari menyusul Nilamsuri.
"Saudari kau mau kemana?!", tanya pemuda itu seraya pegang bahu
Nilamsuri.
"Kau jangan kurang ajar, saudara!" bentak Nilamsuri karena marah sekali
bahunya dipegang seenaknya.
"Kau mau kemana?"
"Perduli apa kau?!"
"Jangan kesana saudari. Banyak buaya lagi berjemura.". dan belum habis
pemuda ini bicara tahu-tahu dua ekor buaya besar menyeruak dari belakang
semak belukar
di tepi sungai.
"Aku bilang apa! Celakaa.! Saudari larilah!" Pemuda itu melompat ke
belakang. Sementar itu kedua ekor buaya dengan cepat meluncur menyerang
Nilamsuri. Gadis
itu cabut pedangnya. Sekali menebas puntunglah sebagian dari mulut buaya
yang hendak menerkamnya. Binatang ini menggelepar-gelepar di pasir.
Buaya kedua
mengalami nasib yang sama. Bau anyirnya darah yang masuk ke dalam air
sungai mengundang munculnya beberapa ekor buaya lagi. Binatang-binatang
itu menyelusur
ke tepi sungai dan berlomba menyergap Nilamsuri. Tapi si gadis dengan
permainan pedangnya yang mengagumkan berhasil menewaskan semua buaya
itu!
Si pemuda geleng-geleng kepala dan leletkan lidah. "Hebat! Hebat sekali
kau saudari!", katanya memuji. "Kau tentu seorang jago silat! Sejak lama
aku ingin
belajar silat! Bersediakah kau mengambil aku jadi murid?!"
"Jangan ngaco!", bentak Nilamsuri.
"Aku tidak ngaco. Aku bicara sungguhana.".
"Buka lagi mulutmu!", bentak Nilamsuri. Pedangnya masih merah oleh darah
buaya-buaya tadi siap ditetakkannya ke kepala pemuda itu. Tentu saja
pemuda ini
cepat-cepat melompat ke samping.
"Saudari, aku betul-betul ingin belajar silat padamua."
Nilamsuri pencongkan hidung. "Tidak malu merengek macam anak kecil!",
ejeknya.
Si pemuda agaknya jadi kesal, lalu menyahuti. "Kau sendiri tidak malu
pakai pakaian laki-laki!"
Memang saat itu Nilamsuri mengenakan baju dan celana laki-laki berwarna
putih yakni pakaian yang tadi ditemuinya di atas sebuah kuburan. Dan
parasnya menjadi
kemerahan. Cepat-cepat dia berlalu dari situ.
"Saudaria. Tunggua.!"
"Apalagi?!"
"Kalau kau tak mau ambil aku jadi muridmu, tak apa. Tapi ada satu
permintaanku yang laina. Boleh aku tahu namamu?"
"Manusia macammu tak perlu tahu namaku!"
"Ah saudari, kau sombong betul. Beri tahu namamu, nanti kuberi tahu
namakua."
"Siapa sudi tahu namamu segala?!"
"Namaku Wiro Sableng saudaria. Harap kau mau kasih tahu kau punya
namaa."
"Wiro Sableng?" ujar Nilamsuri.
Pemuda itu mengangguk.
"Pantas," kata Nilamsuri pula.
"Pantas kenapa?" tanya Wiro.
"Pantas lagakmu seperti orang edan!" dan habis berkata begitu Nilamsuri
segera berlalu.
Karena merasa sia-sia untuk meneruskan pencariannya maka Nilamsuri
akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke pekuburan. Sebenarnya,
gadis ini telah
bertemu dengan orang yang telah menolongnya sewaktu dikeroyok oleh
Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Cuma Nilamsuri tidak tahu sama
sekali kalau orang
yang ditemuinya itulah tuan penolongnya. Dan siapa adanya orang yang
menolong Nilamsuri tiada lain dari pada Wiro Sableng itu pemuda yang
baru turun gunung
yang sikap serta lagaknya begitu lucu sehingga setiap orang akan menduga
bahwa dia tentunya seorang yang kurang waras.
Ketika Nilamsuri kembali ke pekuburan itu, yang ditemuinya bukanlah
Bergola Wungu dan ketiga orang anak buahnya melainkan Wiro Sableng!
Pemuda ini tengah
berlutut menepekur di hadapan sebuah makam yang tanahnya hampir rata dan
penuh ditumbuhi rumptu-rumput liar serta kotor oleh daun-daun kering.
"Kemana perginya kunyuk-kunyuk berewok itu?" pikir Nilamsuri. Penasaran
sekali dia jadinya. Sudah tak berhasil mengejar manusia yang diburunya
kini empat
musuh besarnya telah lenyap sepeninggal pengejarannya. Dan apa pula
urusan pemuda berotak miring yang mengaku bernama Wiro Sableng itu di
pekuburan ini?
Makam siapa yang tengah ditepekurinya itu?
Kemudian Nilamsuri melilhat Wiro berdiri dari berlututnya. Dan ketika
dia memalingkan muka, Nilam melihat pada paras pemuda itu jelas
terbayang rasa sedih
yang mendalam. Atas banyak kejadian aneh yang tengah dialaminya sampai
saat itu diam-diam Nilamsuri ingin sekali tahu siapa adanya pemuda
berambut gondrong
ini. Dibukanya pembicaraan denga bertanya, "Saudara, waktu mula-mula kau
datang kesini apa ada melihat empat orang laki-laki berewok?"
Bayangan kesedihan pada paras Wiro Sableng segera sirna. Dan pemuda ini
tersenyum. "Kau lucu sekali saudari," kata Wiro. "Pertama kali jumpa,
ditepi sungai
tadi kau tanya satu orang laki-laki. Kalau jumpa ketiga kali nanti,
kira-kira berapa orang laki-laki yang bakal kau tanyai padaku?!"
Mau tak mau paras Nilamsuri menjadi merah oleh ucapan Wiro Sableng itu.
"Saudara," katanya, "Kau siapakah sebenarnya?"
"Siapa aku bukankah aku sudah kasih tahu tadi di hulu sungai? Kenapa
tanya lagi? Kau sendiri tidak mau kasih tahu nama."
Nilamsuri terdiam. Kemudian diputarnya pembicaraan dengan bertanya,
"Makam siapa itu?"
"Kau bisa baca sendiri pada batu nisana." jawabnya. Penuh rasa ingin
tahu Nilamsuri melangkah dan mendekati nisan makam tua itu. Nisan itu
terbuat dari
batu. Barisan kalimat yang terukir pada batu yang sudah retak-retak itu
tak jelas lagi. Tapi Nilam masih bisa membacanya.
Dan pada batu nisan
itu tertulis:
"DISINI TELAH DIMAKAMKAN SUCI BANTARI"
Melihat Wiro yang masih muda, Nilamsuri tahu kalau orang yang bernama
Suci Bantari itu bukanlah isteri Wiro Sableng.
"Ibumua.?", tanyanya.
Pemuda itu mengangguk perlahan. Dia teringat pada keterangan Eyang Sinto
Gendeng ketika dia masih digembleng di puncak Gunung Gede dulu. Menurut
perempuan
sakti itu dia telah dipelihara sejak masih orok. Kini sesudah belasan
tahun, sesudah menjadi seorang dewasa, sesudah sekian lama tiada
mengenal kasih sayang
ayah bunda, maka yang ditemuinya hanyalah dua onggok makam yang tiada
terawat sepantasnya. Makam ayah dan makam ibunya.
"Kalau begitu kau adalah penduduk sinia.?"
Wiro Sableng mengangguk lagi. "Aku tak pernah mengenal mereka."
"Maksudmu ayah dan ibumu?"
"Yaa Keduanya menemui ajal karena kebiadaban seseoranga."
"Dibunuha.?"
Wiro Sableng mengangguk. Matanya yang biasanya bersinar lucu itu kini
kelihatan kuyu dan kedua matanya itu memandang pada bangkai kuda yang
lehernya hampir
punting terbabat pedang Nilamsuri sewaktu terjadi pertempuran antara
gadis itu dengan Bergola Wungu dan anak-anak buahnya. Wiro menggeram
dalam hati. Nasib
ayahnya tidak lebih baik dari kuda itu!
Nilamsuri sementara itu tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. Tadipun
Bergola Wungu mengatakan bahwa orang tuanya mati dibunuh, dibunuh
ayahnya Kalingundil,
ayahnya sendiri. Apakah orang tua pemuda ini ayahnya juga yang telah
membunuhnya? Kalau benar maka pastilah pemuda ini datang untuk mencari
urusan. Untuk
menuntut balas sebagaimana kemunculan Bergola Wungu dan anak buahnya.
Jadi manusia ini tak lebih dari seorang musuh pula baginya!
Tapi untuk meyakinkan maka bertanyalah Nilamsuri. "Siapakah manusianya
yang membunuh kedua orang tuamu, Saudara?"
"Ah panjang kisahnya. Kalaupun kuberi tahu kau tak akan kenal mungkin.
Dan lagi semua itu bukan urusanmua."
"Apakah pembunuh itu bernama Kalingundil?" memancing Nilamsuri dengan
hati berdebar. Dadanya lega ketika dilihatnya Wiro Sableng menggeleng.
"Kau sendiri perlu apa datang ke pekuburan ini?" bertanya Wiro.
"Sama dengan kau. Untuk menyambangi makam ibukua." Dan Nilamsuri
menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya ketika dia tengah
mencabuti rumput-rumput
di makam ibunya. Tapi tidak diterangkannya mengapa sampai Bergola Wungu
hendak merusak kehormatannya dan hendak membunuhnya!
"Sungguh aneh cerita tentang manusia yang telah menolongmu itu saudari,"
kata Wiro Sableng pula dengan menahan rasa gelinya. "Pastilah dia
seorang manusia
sakti luar biasa. Mungkin juga dia seorang malaikata.!"
Nilamsuri hanya termangu. Tapi diam-diam matanya melirik pada Wiro
Sableng.
Kalau tadi memang dia kagum akan paras pemuda yang keren ini
tapi karena bicaranya
yang usil serta lucu tapi kurang ajar itu, maka kini bicara secara
baik-baik nyatanya pemuda itu bukanlah seorang yang kurang ingatan.
"Kalau sekiranya kau menemui pembunuh orang tuamu itu," bertanya
Nilamsuri, "apakah kau juga akan membunuhnya?"
Wiro Sableng tertawa, "Itu tak perlu musti dijelaskan lagi saudari,"
sahutnya. Nilamsuri ingat pada nasib buruknya yang tadi hendak
menimpanya. Lalu berkatalah
perempuan ini, "Dunia ini penuh dengan ketidakadilan!"
"Ketidak adilan macam mana maksudmu saudari?" tanya Wiro Sableng pula.
Nilamsuri hendak membuka mulutnya. Tapi cepat-cepat mulut itu
dikatupkannya kembali. Hampir saja terluncur rahasia mengapa Bergola
Wungu hendak membunuhnya.
Gadis ini kemudian hanya gelengkan kepala. "Nanti kau bakal mengalami
sendiri mungkin," katanya. "Sekurang-kurangnya melihat dengan nyata
ketidakadilan
berlangsung di depan matamu."
Wiro Sableng tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Nilamsuri karena merasa diejek.
"Berapa umurmu, saudaria.?"
Dalam hatinya gadis itu berpikir si pemuda hendak mulai lagi dengan
keusilannya. Wiro masih juga tertawa lalu berkata, "Kau masih sangat
muda tapi bicaramu
sudah seperti orang tuaa."
Mau tak mau Nilamsuri tertawa juga. Tapi tertawa cemberut. Diam-diam
hatinya yang tadi tertarik kini semakin senang pada pemuda itu.
Tiba-tiba kedua orang
itu saling pandang. Dikejauhan terdengar derap suara kaki kuda.
"Aha. hanya suara kaki-kaki kuda, kenapa terkejut?" tanya Wiro Sableng
meskipun hatinya sendiri terasa tidak enak.
"Mungkin sekali, itu adalah manusia-manusia laknat yang tadi
mengeroyokku!" kata Nilamsuri.
"Kalau begitu mari cepat-cepat menyingkir!"
Si gadis enam belas tahun gelengkan kepala.
"Lebih baik mati daripada laria.!"
Wiro Sableng menggerendeng. "Keberanianmu tidak pakai pikiran saudari!",
katanya. Wiro Sableng melompat ke muka dan menotok bahu kanan
Nilamsuri. Gadis
itu rebah dalam keadaan kaku tapi sebelum jatuh ke tanah Wiro sudah
membopongnya. Segera gadis itu dilarikannya namun kasip. Empat
penunggang kuda sudah
mengurungnya. Keempatnya tiada lain daripada Bergola Wungu dan anak-anak
buahnya.
"Haa.haa, ruapanya ada juga culik kesiangan yang inginkan mangsa kita
kawan-kawan!" kata Bergola Wungu.
"Tikus busuk!", kata Ketut Ireng. "Turunkan gadis itu!"
"Masih ingusan sudah tahu perempuan!" memaki Pitala Kuning, anak buah
Bergola Wungu yang bermata jereng. "Ayo turunkan gadis itu cepat!"
Perlahan-lahan Wiro Sableng menurunkan tubuh Nilamsuri. Dipandanginya
keempat manusia berewok itu seketika. "Saudara-saudara kita tidak saling
kenal satu
sama lain, mengapa bicara memaki begitu?!"
"Bocah geblek! Terima ini!", bentak Ketut Ireng pergunakan kaki kanannya
untuk menendang dada pemuda itu.
"Buuk"!!
Kaki kanan Ketut Ireng mendarat di dada Wiro Sableng. Tidak serambutpun
tubuh pendekar dari Gunung Gede ini bergerak. Sebaliknya dari mulut
Ketut Ireng
terdengar lolong kesakitan setinggi langit! Tendangan yang dilancarkan
Ketut Ireng hanya menggunakan tenaga kasar atau tenaga luar karena dia
sama sekali
tidak menduga siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. Dan akibatnya
dari tendangan itu menimpa dirinya sendiri. Kaki kanannya sampai ke
betis kelihatan
menjadi gembung dan kehitaman. Ketut Ireng menelungkup di atas punggung
kuda dan melolong kesakitan. Kaget Bergola Wungu dan dua orang lainnya
bukan olah-olah.
"Sreet"!!
Pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini segera cabut golok
panjangnya. Seta Inging cabut senjatanya yang berupa kelewang sedang
Pitala Kuning keluarkan
ruyung berdurinya!
"Bocah haram jadah! Siapa kau!?!", bentak Bergola Wungu seraya
melintangkan golok di depan dada.
"Aku peringatkan pada kalian," sahut Wiro Sableng dengan suara datar
sedang mulutnya menyunggingkan seringai, "aku tidak ada permusuhan
dengan kalian. Sebaiknya
tinggalkan tempat ini dengan aman!"
"Keparat betul, " kertak Pitala Kuning. "Apa kau tidak tahu berhadapan
dengan siapa saat ini?!"
"Aku tidak perduli siapa kalian! Tinggalkan tempat ini kalau tidak mau
susah!"
"Sebaiknya kau berlutut dan minta ampun dihadapan kami, bocah gila!"
"Aku bilang tinggalkan tempat ini, apa kalian tuli semua masih pentang
bacot?!"
Mendidihlah darah di kepala Bergola Wungu.
LIMABELAS
Sebagai pendekar yang baru turun gunung dan cemplungkan diri dalam dunia
persilatan tentu saja Wiro Sableng buta pengalaman dalam pertempuran.
Tapi selama
tujuh belas tahun digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng maka
serangan-serangan yang dahsyat itu sama sekali tidak membuat pendekar
muda ini menjadi gugup.
Eyang Sinto Gendeng talah menggemblengnya bukan hanya sekedar member
pelajaran ilmu silat luar dalam dan melatihnya belaka, tapi
latihan-latihan perempuan
sakti itu tak ada bedanya dengan pertempuran dahsyat yang benar-benar
bisa mencelakakan Wiro sendiri.
Ketika tiga serangan itu datang ke arahnya, Wiro Sableng segera sambar
pinggang Nilamsuri. Secepat kilat kemudian dia jatuhkan diri dan sambil
berteriak
hebat pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke kaki seekor kuda lawan yang
hampir menendang batok kepala Nilamsuri. Kuda itu meringkik keras dan
rubuh karena
kakinya itu hancur. Penunggangnya yaitu si mata jereng Pitala Kuning
terlempar ke tanah tapi dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh berhasil
jatuh dengan
kedua kaki menginjak tanah.
Sementara golok panjang Bergola Wungu dan kelewang Seta Inging beradu
keras di udara memercikkan bunga api maka sambil bergulingan di tanah,
Wiro Sableng
tak lupa hantamkan kaki kiri kanannya pada kaki-kaki kuda kedua manusia
berewok itu. Seperti dengan kuda Pitala Kuning tadi maka kedua binatang
inipun
melemparkan Bergola Wungu dan Seta Inging.
Wiro Sableng menyandarkan
Nilamsuri pada sebatang pohon dan cepat bersiap-siap ketika dilihatnya
tiga manusia
berewok itu mendatanginya. Akan Ketut Ireng tak masuk hitungan karena
saat itu dia duduk menjelepok di tanah merintih karena kaki kanannya
yang hitam gembung
dan sakitnya bukan main!
"Aku peringatkan pada kalian untuk penghabisan kali!" kata Wiro Sableng,
"Tinggalkan tempat ini!"
"Jangan omong besar bangsat ingusan!" bentak Bergola Wungu dengan sangat
geram.
"Sebut kau punya nama agar golokku ini tidak penasaran menebas batang
lehermu!"
Wiro Sableng mengeluarkan suara bersiul lalu garuk-garuk kepala dan
tertawa gelak-gelak. Kemudian menyanyilah murid Eyang Sinto Gendng ini.
Anak kecil bodoh namanya biang bodoh,
Tua bangka bodoh namanya biang bodoh,
Monyet ingin jadi manusia,
Kenapa manusia piara berewok,
Apa mau jadi monyeta.
Tolol, bodoh, bego, geblek!
Marahlah Bergola Wungu mendengar tembang yang kata-katanya ditujukan
kepadanya sebagai ejekan itu.
"Bocah gila!" bentaknya, " terima ujung golokku ini!"
Dengan pergunakan jurus "burung bangau mematuk kodok," Bergola Wungu
tusukkan golok panjangnya ke arah tenggorokan Wiro Sableng. Pendekar
Gunung Gede ini
segera meringankan badan. Ujung golok hanya lewat setengah jengkal
disamping lehernya. Wiro tertawa mengejek.
Panas pemimpin Empat Berewok dari Gua Sanggreng ini tidak terkirakan.
Baru hari ini ilmu golok yang sangat dibanggakannya itu dikelit dengan
demikian mudah
bahkan sambil tertawa mengejek dan menantang!
Dengan kertakkan rahang Bergola Wungu balikkan mata pedang dan babatkan
senjata itu. Kali ini maksudnya untuk menebas batang leher si pemuda.
Kedua kaki
Wiro Sableng bergerak sedikit, tangan kirinya menepis lengan yang
memegang golok sedang telapak tangan kanan dihantamkan ke dada Bergola
Wungu!
Kepala rampok Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu mengeluarkan jerit
tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh duduk di tanah.
Ketika dia memandang
ke dadanya yang dihantam telapak tangan lawan, parasnya dengan serta
merta menjadi pucat! Baju hitamnya robek hangus.
Pada kulit dada yang
tadi kena dihantam
terlukis memutih telapak tangan dan jari-jari tangan Wiro Sableng! Pada
tengah-tengah lukisan itu tertera angka hitam 212. Dan sakitnya dada
yang bertanda
telapak tangan kanan berikut angka 212 itu bukan olah-olah. Meski
Bergola Wungu sudah alirkan seluruh tenaga dalamnya, rasa sakit itu
hanya sedikit saja
berhasil dikuranginya!
Pitala Kuning dan Seta Inging tidak kurang pula pucat tampang-tampang
mereka melihat apa yang terjadi dengan pemimpin mereka. Tidak dinyana
pemuda belia
berparas macam anak-anak itu lihay sekali. Apa arti angka 212 yang
membekas hitam di kulit Bergola Wungu itu?
Pukulan "telapak 212" yang dilancarkan oleh Wiro Sableng tadi itu hanya
mempergunakan seperlima bagian saja dari tenaga dalamnya!
Kalau saja
pendekar muda
ini pergunakan setengah saja bagian dari seluruh tenaga dalamnya maka
pastilah Bergola Wungu akan meregang nyawa dengan dada remuk!
Luapan amarah Bergola Wungu membuat pemimpin rampok yang malang
melintang di sungai Cimandilu ini lupakan kenyataan bahwa pemuda yang
dicapnya sebagai "pemuda
gila", "bocah ingusan" itu sesungguhnya bukanlah tandingannya! Bergola
Wungu majukan kaki kanan dan surutkan kaki kiri. Golok panjang dipegang
lurus ke
muka.
"Bocah sedeng! Kau telah bikin cacad dadaku! Aku Bergola Wungu akan
berbaik hati untuk membalasnya! Kau tahu jurus apa yang bakal aku
lancarakan ini?!"
Pendekar kapak maut naga geni menjawab dengan tertawa bergelak sambil
garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Lucu!" kata Wiro Sableng pula. "Bertempur ya bertempur. Kenapa musti
pakai pidato segala!"
Bergola Wungu merasa tubuhnya seperti terbakar oleh kobaran amarahnya
yang menggelegak. "Kau boleh tertawa dan mengejek sepuas hatimu bocah
gila! Bila golokku
berkiblat dalam jurus: merobek langit, kau akan tahu rasa nanti!"
Adapun jurus ilmu golok yang disebut "merobek langit" itu adalah jurus
yang telah dipergunakan oleh Bergola Wungu untuk "menelanjangi" tubuh
Nilamsuri yaitu
dengan merobek-robek pakaian gadis itu dengan ujung goloknya.
"Jurus merobek langit memang hebat kedengarannya!" kata Wiro Sableng.
"Tapi coba buktikan. Jangan-jangan cuma jurus kosong belaka!"
Tanpa banyak bicara Bergola Wungu segera putar goloknya dengan sebat.
Angin menderu dahsyat keluar dari sambaran golok. Demikian hebatnya
seakan-akan golok
itu berubah menjadi ratusan banyaknya! Dalam sekejapan mata saja tubuh
Wiro Sableng sudah terbungkus gulungan golok!
Yang anehnya, diserang hebat demikian rupa tidak serambutpun Wiro
Sableng bergerak. Dan lebih aneh lagi adalah karena golok Bergola Wungu
sama sekali tidak
dapat mendekati bagian tubuh manapun dari Wiro Sableng! Manusia berewok
ini mencak-mencak sendirian macam monyet terbakar ekor! Seta Inging dan
Pitala
Kuning yang saksikan kejadian itu mau tak mau jadi leletkan lidah!
Demikianlah hebatnya ilmu "benteng topan melanda samudra" yang
dikeluarkan Wiro Sableng sehingga setiap sambaran tusukan dan sabetan
golok sama sekali tidak
dapat mengenai tubuh Wiro Sableng. Tubuh golok dilanda terus-terusan
oleh gulungan angin dahsyat yang membungkus tubuh murid Sinto Gendeng
itu! Bergola
Wungu membentak keras dan percepat permainan goloknya. Tapi sampai dua
puluh jurus dimuka tetap saja goloknya tak dapat membentur sasarannya di
tubuh Wiro!
Pakaian dan tubuhnya sudah mandi keringat. Pegangan pada hulu golok
sudah licin. Keletihan membuat gerakannya mulai menjadi lamban!
"Seta Inging! Pitala Kuning! Jangan jadi patung! Bantu aku!" teriak
Bergola Wungu dengan sangat beringas. Mendengar perintah ini Pitala
Kuning dan Seta
Inging segera menyerbu dengan
senjata di tangan. Sebatang golok panjang, sebuah ruyung berduri dan
sebuah kelewang dengan dahsyatnya menyambar-nyambar ke tubuh Wiro
Sableng. Tapi ilmu
"benteng topan melanda samudera" membuat ketiga senjata itu tak ada arti
sama sekali.
Wiro Sableng tertawa bergelak. Tawa gelak yang disertai tenaga dalam ini
menambah hebat perbawa ilmu "benteng topan melanda samudera!" Sepuluh
jurus berlalu.
"Ciaatt!!" tiba tiba pendekar kapak maut Naga Geni membentak keras. Tiga
manusia berewok keluarkan seruan tertahan dan lompat dari kalangan
pertempuran.
Mata mereka melotot besar memandang ke tangan Wiro Sableng yang saat itu
telah merampas dan menggenggam senjata mereka!! Ketut Ireng yang duduk
menjelepok
merintih kesakitan, juga tak ketinggalan terbeliak dan
terlongong-longong!
Nama Empat Berewok dari Goa Sanggreng bukan nama baru dalam dunia
persilatan pada masa itu mereka terkenal sebagai komplotan rampok yang
berilmu tinggi
dan ditakuti di sepanjang sungai Cimandilu. Terutama pemimpin mereka
Bergola Wungu diakui kehebatan permainan goloknya oleh kalangan
persilatan! Mereka
tahu, kalau pemuda itu inginkan nyawa mau mencelakakan mereka maka sudah
sejak tadi hal itu bisa dilakukannya!
"Kalau hari ini kami diberi sedikit pelajaran," kata Bergola Wungu
dengan suara bergetar, "maka ketahuilah bahwa kami tak akan melupakan
kejadian ini. Suatu
hari kami akan datang untuk meneruskna apa yang terjadi hari ini!"
Wiro Sableng tertawa bergelak, "Bagus, bagus! Kau masih bisa pidato
huh!! Ini terima kembali senjata kalian!"
Sekali tangan kanan Wiro Sableng bergerak maka ketiga senjata lawan yang
tadi dirampasnya kini melesat ke arah ketiga orang itu masing-masing
pada pemiliknya,
Bergola Wungu menangkap hulu golok, Seta Inging menangkap gagang
kelewang sedang Pitala Kuning menyambuti tangkai ruyung berdurinya.
Tanpa banyak bicara ketiga orang itu dengan membawa kawan mereka yang
menderita sakit pada kakinya, segera hendak angkat kaki. Tapi sebelum
mereka berlalu
Wiro Sableng berkata: "Satu hal kalian harus ingat baik-baik
manusia-manusia berewok. Jika kalian berani lagi ganggu ini gadis,
berarti kalian ingin cepat-cepat
masuk liang kubur!"
ENAMBELAS
Begitu Empat Berewok dari Goa Sanggreng lenyap dikejauhan maka Wiro
Sableng segera lepaskan totokan di leher Nilamsuri. Gadis ini memandang
berkeliling
dengan terheran-heran. Dia seperti orang yang baru bangun dari mimpi.
Tapi jelas dilihatnya bekas-bekas pertempuran di sekelilingnya.
"Apa yang terjadi?" bertanya gadis itu.
Wiro tertawa. "Tak satupun," jawabnya.
"Aku tak percaya. Tadi kudengar suara derap kaki kuda menuju ke sinia."
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku tak dengar suara apa-apaa."
Nilamsuri berpikir-pikir dan mengingat-ingat. Parasnya mendadak berubah.
Matanya memandang lekat-lekat pada Wiro Sableng. "Tadia. kau
melompatiku dana,"
gadis ini raba
urat besar di pangkal lehernya. "Yaa. kau menotok urat besar di leherku
ini?"
Habis berkata demikian Nilamsuri segera cabut pedang! "Apa yang kau
telah perbuat terhadap diriku?" tanyanya membentak.
Murid Sinto Gendeng memaki dalam hati, "Sialan! Sudah ditolong malah
menuduh yang bukan-bukan!"
Tapi di hadapan si gadis itu pemuda itu masih sunggingkan senyum.
"Kuharap kau jangan punya pikiran yang tidak-tidak terhadapku saudaria."
"Lalu perlu apa kau menotok aku?!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia tak ingin Nilamsuri tahu siapa dia
sebenarnya. Karena itu dia menjawab dusta. "Kau ingat bagaimana kau
begitu kalap untuk
bertempur melawan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?!"
"Ya, lalu?!"
"Dengar saudari, aku hanya paham sedikti ilmu totokan. Karena aku tahu
kau tak bakal sanggup menghadapi mereka, aku lantas totok kau punya urat
besar lalu
sembunyi dibalik rumpun bambu. Ketika mereka pergi kubawa kau kembali ke
sini dan kulepaskan totokan di lehermu."
"Aku tak percayaa.!" kata Nilamsuri.
"Aku memang tidak suruh kau percaya untuk mempercayainya," menyahuti
Wiro Sableng.
"Kai ini siapa sebenarnya?!"
"Heha," Wiro Sableng hela nafas panjang. "Bukankah aku sudah kasih tahu
nama? Malah kau sendiri masih rahasiakan kau punya nama!"
Nilamsuri dalam kesalnya tambah tak percaya. Terlintas dalam pikirannya
untuk menjajal si pemuda.
"Baik," katanya, "jika kau tidak mau kasih keterangan, biar pedangku ini
yang memintanya!" Habis berkata demikian maka gadis ini segera kirimkan
satu tusukan
hebat ke dada Wiro Sableng!
Wiro terkejut dan gerabak gerubuk lompat kesamping. "Saudari! Apa-apaan
ini? Kenapa kau serang aku?!"
Sebagai jawaban Nilamsuri kirimkan serangan berantai. Pedangnya menderu
kian kemari membuat Wiro tak bisa ayal lagi dan terpaksa berlompatan
dengan cepat.
"Sekarang kau tak bisa sembunyikan diri lagi saudara!" kata Nilamsuri.
"Terima jurus elang menyambar burung dara ini!"
Pedang di tangan Nilamsuri menderu dari samping kiri ke bahu Wiro.
Ketika pemuda ini berkelit, ujung pedang dengan sangat tiba-tiba menusuk
ke rusuk laksana
patukan burung elang! Wiro lambaikan tangan kiri, angin keras membentur
badan pedang, menyimpangkan senjata itu dari sasarannya!
"Saudari!" seru Wiro Sableng, "sayang aku ada urusan lain. Sampai jumpa
lagi!" Habis berkata demikian pemuda ini melompat ke muka, mencuil dagu
si gadis
lalu berkelebat.
"Pemuda kurang ajar!" maki Nilamsuri. Disabetkannya pedangnya dengan
sekuat tenaga. Tapi Wiro Sableng sudah lenyap dari hadapannya. Hanya
suara tertawanya
yang masih sempat terdengar di kejauhan. Gadis itu berdiri termangu.
Parasnya yang cantik kelihatan kemerahan. Pemuda itu benar-benar ceriwis
sekali! Tapi
kini dia sudah tahu bahwa pemuda itu sama sekali bukan bodoh dan berotak
miring. Sama sekali tidak buta dalam ilmu silat! Tadi dia telah
menyerang dengan
jurus-jurus ilmu pedangnya yang lihay dan si pemuda berhasil mengelakkan
bahkan memukul badan pedang dengan pukulan tangan kosong yang
menimbulkan angin
keras! Meski hatinya marah sekali dengan keceriwisan pemuda itu tapi
rasa senang dan kagumnya tak dapat disembunyikannya. Sekelumit senyum
memberkas di
bibirnya ketika dia mengusap dagunya yang tadi dicuil oleh Wiro Sableng.
*****
Kedai itu sepi saja. Angin malam bertiup dingin dari lembah. Wiro
Sableng masuk ke dalam seenaknya dan sambil bersiul-siul. Orang tua
pemilik kedai menyambuti
dengan muka pucat cemas.
"Orang muda," katanya, "sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat
ini!"
"Memang kenapa?" tanyanya.
"Sebentar lagi mungkin empat manusia berewok itu akan kembali ke sinia."
"Siapa takutkan mereka!" ujar Wiro.
"Tapi anak muda, kau mungkin belum tahu siapa mereka itu."
"Perduli amat siapa mereka," kata Wiro pula sambil duduk di kursi. Dan
pemilik kedai itu berkata lagi, "Mereka adalah rampok-rampok yang
ditakuti di sungai
Cimandilu! Mereka adalah Empat Berewok dari Goa Sanggreng!"
"Biar mereka adalah Empat Setan dari Neraka, aku tetap tak perduli!"
Pemilik kedai jadi terdiam. Siang tadi dia memang telah menyaksikan
bagaimana pemuda itu menyumpal mulut Empat Berewok dari Goa Sanggreng
dengan pisang.
Maka bertanyalah dia, "Orang muda, kau ini siapa sebenarnya dan datang
dari mana?"
Wiro usap-usap dagunya yang licin. Ini mengingatkannya pada dagu
Nilamsuri yang dicuilnya dan pemuda ini senyum-senyum sendiri. Si orang
tua diam-diam mulai
meragukan apakah anak muda ini berotak sehat!
"Bapak sudah lama tinggal di sini?" tanya Wiro.
"Sejak masih oroka."
"Hema. kalau begitu tentu kenal dengna nama Ranawelenga."
"Oh tentu... tentu sekali. Beliau adalah Kepala Kampung yang baik. Cuma
sayanga."
"Sayang kenapaa.?"
Orang tua itu tak segera menjawab. Dia memandang keluar kedai seperti
mau menembusi kegelapan malam, seperti tengah mengenangkan sesuatu.
"Beliau sudah
meninggala," katanya kemudian menambahkan.
Wiro Sableng menelan ludahnya. "Bapak tahu siapa yang membunuhnyaa.?"
Pertanyaan ini membuat si orang tua memandang lekat-lekat pada paras
Wiro Sableng.
"Semua orang tahua.," katanya. Kemudian dituturkannya peristiwa kematian
Ranaweleng dan Suci Bantari sekitar tujuh belas tahun yang lewat. Kisah
ini sudah
didengar sejelasnya oleh Wiro Sableng dari gurunya Eyang Sinto Gendeng.
"Ada satu keanehan dalam peristiwa tujuh belas tahun yang lalu itu,"
kata si pemilik kedai.
"Keanehan bagaimana?" tanya Wiro ingin tahu.
"Waktu itu Mahesa Birawa dan anak-anak buahnya membakar rumah mendiang
Ranaweleng. Dalam kobaran api yang tiada terkirakan besarnya terdengar
suara tangisan
orok! Itu adalah oroknya Ranaweleng sendiri! Orang banyak sangat
kebingungan. Bagaimana mungkin menyelamatkan bayi dalam kobaran api itu?
Pada saat yang
sangat tegang itu semua orang melihat berkelebatnya bayangan hitam.
Sangat cepat sekali bayangan hitam itu menyerbu ke dalam kobaran api
lalu lenyap. Dan
suara tangisan oroknya Ranaweleng juga hilang! Sewaktu api padam semua
orang mencari. Tapi tak ditemui tulang belulang orok itua."
Wiro Sableng termanggu-manggu. Dia tahu betul, orok yang diceritakan
orang tua itu adalah dirinya sendiri dan berkelebatnya bayangan hitam
adalah kelebat
bayangan gurunya Eyang Sinto Gendeng!
"Sampai sekarang tidak pernah diketahui dimana anak Ranaweleng itu?"
bertanya Wiro
.
Si orang tua angkat bahu. "Kalau dia masih hidup kira-kira sebesar
kaulah, anak muda," katanya.
"Mahesa Birawa sendiria. apakah masih hidup?"
"Masiha. sampai dua tahun belakangan ini dia masih tinggal di sini. Tapi
sekarang entah dimana. Tapi ada atau tidaknya dia di sini, sama saja.
Empat orang
anak buahnya sama saja jahat dan kejamnya dan keempatnya malang
melintang di kampung ini. Kalau makan tak pernah bayar!"
"Apakah mereka itu Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu?" tanya Wiro.
"Bukan. bukan! Justru Empat Berewok dari Goa Sanggreng ini sengaja
datang dari jauh bikin perhitungan dengan anak buah Mahesa Birawa yang
bercokol di sini!
Dan Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu bukanlah manusia baik. Mereka
rampok-rampok yang tak kalah kejam dan terkutuknya dengan anak-anak buah
Mahesa
Birawa! Tapi ketika mereka datang anak-anak buah Mahesa Birawa tak ada
di sini. Kebetulan keluara. sudah empat hari dengan hari inia."
Wiro mengulurkan tangannya memotes sebuah pisang yang tergantung "Eeea.
apakah kau punya uang untuk membayar pisang itu, anak muda?" tanya si
pemilik kedai.
Wiro tertawa, "Hutang dulu toh tak apa-apaa." sahutnya.
Si orang tua mengeluh dalam hati. Berarti tambah satu lagi
"langganan"nya yang makan tanpa bayar!
Sambil mengunyah pisangnya Wiro Sableng bertanya, "Urusan apakah yang
dibawa oleh Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu ke sini?"
Si orang tua memandang lagi ke luar kedai. Lalu katanya, "Perlu kau
ketahuia. pemimpin Empat Berewok dari Goa Sanggreng itu, yang kini
memakai nama Bergola
Wungu, dulunya adalah penduduk kampung Jatiwalu ini! Anak-anak buah
Mahesa Birawa yang bercokol di sini kemudian membunuh ayahnya, juga
ibunya, merusak
kehormatan perempuan itu serta saudara-saudara perempuannya. Bergola
Wungu sempat melarikan diri. Ketika dia kembali ke sini ternyata dia
sudah jadi seorang
yang tak kalah jahatnya dengan anak-anak buah Mahesa Birawa!"
Lama Wiro Sableng terdiam. Tiba-tiba dia ingat satu nama yang diucapkan
Nilamsuri. "Kenal dengan seorang yang bernama Kalingundil?"
Kulit kening pemilik kedai itu mengkerut. "Adalah lucu kalau pertanyaan
itu kau ajukan saat ini, anak muda?" katanya.
"Kenapaa.?"
"Karena Kalingundil adalah anak buah Mahesa Birawa yang bercokol di sini
dan yang bertindak sebagai pemimpin dari tiga kawan-kawan lainnya!"
Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar keterangan ini. Tapi rasa
terkejutnya disembunyikannya. Dan dia berpikir-pikir, mengapa gadis itu
di pekuburan
siang tadi menanyakan apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh manusia
bernama Kalingundil itu?
Wiro meletakkan kulit pisang di tepi meja. "Siang tadi, Empat Berewok
dari Goa Sanggreng itu telah mengeroyok seorang gadis belia berparas
cantik. Bahkan
gadis itu hendak mereka perkosa beramai-ramai. Mungkin bapak tahu
pangkal sebab sampai hal itu terjadia.? mungkin juga kenal dengan gadis
itu?"
"Gadis itu berpakaian birua.?"
"Betul."
Si orang tua hela nafas. "Sebenarnya sudah berkali-kali Bergola Wungu
tanya padaku apakah ada seorang lain yang tinggal di rumah Kalingundil.
Aku jawab
tidak tahu.
Aku tak ingin susah anak muda. Kalau kukatakan ada dan
Kalingundil mengetahuinya, pastilah leherku akan jadi umpan pedang
Kalingundil dan gadis
itu adalah anak Kalingundil sendiri!"
Kini jelaslah bagi Wiro Sableng mengapa demikian besar tekat Bergola
Wungu untuk membunuh si gadis baju biru itu. "Kalingundil yang bikin
kejahatan, anaknya
yang musti ikut tanggung akibata," desis orang tua pemilik kedai.
Wiro manggutkan kepala. "Dendam kesumat laksana besi tua seribu karat
kadang kala tidak mengenal pembalasan yang wajara.", katanya. "Kadang
kadang itu adalah
merupakan hukum karma bagi seseorang yang pernah melakukan perbuatan
terkutuk!"
"Kata-katamu beul, anak mudaa.", kata orang tua itu pula. Lalu
diangsurkannya mukanya dekat-dekat ke muka Wiro Sableng. "Waktu Bergola
Wungu tahu bahwa
kau telah mendustainya, habis mukaku ini ditempelaknyaa.!"
"Itu salahmu sendiri," kata Wiro seenaknya. "Siapa suruh kau yang tua
bangka masih mau berdusta!"
Orang tua itu jadi menggerendeng dan memaki panjang pendek dalam
hatinya. Dan dia memaki lagi untuk kedua kalinya ketika didengarnya Wiro
berkata, "Minta
tehnya, pak."
Sementara si orang tua membuatkan segelas teh manis untuknya, Wiro
Sableng tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tidak diduganya kalau gadis
berbaju biru
yang menarik perhatiannya itu adalah anak Kalingundil. Anak buah Mahesa
Birawa yang telah membunuh kedua orang tuanya.
Ketika si orang tua datang membawakan teh bertanyalah Wiro Sableng,
"Bapak tahu nama anak perempuan Kalingundil itu?"
"Nilamsuri. Nama bagus, orangnya juga cantik, tapi sayang bapaknya
manusia terkutuk!"
"Sewaktu Mahesa Birawa melakukan pembunuhan atas diri Ranaweleng, apakah
Kalingundil juga ikut-ikutan?" tanya Wiro lagi.
"Bukan hanya Kalingundil, tapi semua anak buahnya," menyahuti si orang
tua. Wiro hendak bertanya lagi tapi mulutnya terkatup kembali karena di
luar terdengar
suara gemuruh derap kaki kuda. Empat penunggang kuda lewat di muka kedai
dengan cepat. Mereka bukanlah Empat Berewok dari Goa Sanggreng. Dan
ketika Wiro
Sableng berpaling pada orang tua pemilik kedai, orang tua ini tarik
nafas panjang dan berkata, "Kalingundil dan anak-anak buahnyaa. pasti
akan segera terjadi
bentrokan dengan Bergola Wungua."
"Menurutmua. siapa yang bakal menang di antara mereka?" tanya Wiro.
Orang tua itu angkat bahu. "Aku tidak mengharapkan siapapun di antara
mereka akan menang!
Kalau dapat biarlah Gusti Allah membuat mereka mampus semua. Kalingundil
dan Bergola Wungu tiada beda bagiku! Sama-sama jahat! Sama-sama tidak
bayar kalau
makan apa-apa di sini!"
Wiro Sableng tertawa. Diteguknya teh manis dalam gelas kaca itu. Lalu
dia berdiri. "Meski hari ini aku tidak bayar harga pisang dan teh manis
itu, tapi
jangan samakan aku dengan Bergola Wungu atau Kalingundila." Habis
berkata demikian Wiro segera tinggalkan kedai.
Si orang tua mengangkat gelas bekas minuman pemuda itu. Tapi sesuatu
menarik perhatian matanya yang sudah agak mengabur itu. Pada kaca gelas
dilihatnya
sederetan angka. Diperhatikannya lebih dekat. Tidak salah, itu memang
deretan angka 212. Tak habis mengerti orang tua ini bagaimana angka ini
bisa tertera
di sana. Disekanya dengan ujung pakaiannya. Disekanya lagia. lagia. Tapi
angka 212 itu tetap saja tidak mau pupus!
"Aha. semakin tua umur dunia ini semakin banyak terjadi keanehana."
Katanya dalam hati.
TUJUH BELAS
Dari jauh telah terdengar suara beradunya senjata serta
bentakan-bentakan hebat. Wiro Sableng percepat jalannya. Dan bila dia
sampai di halaman rumah yang
agak kegelapan itu maka dilihatnyalah bagaimana halaman rumah itu kini
berubah menjadi sebuah medan pertempuran. Enam manusia, sepasang demi
sepasang tangah
bertempur hebat dan cepat. Di tangga rumah besar dilihatnya berdiri
Nilamsuri. Di bawah tangga, dengan bersedekap tangan berdiri seorang
laki-laki berbadan
tinggi langsing. Wiro tak pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi dia
yakin betul bahwa manusia ini pastilah Kalingundil.
Di ujung halaman sebelah kiri berdiri pula Bergola Wungu. Sebagaimana
dua orang yang terdahulu sepasang matanya memandang ke tengah halaman,
memperhatikan
jalannya pertempuran. Tiga orang anak buah Kalingundil yaitu Saksoko,
Majineng dan Krocoweti sebenarnya bukan orang-orang yang berilmu rendah.
Permainan
golok mereka cukup lihay. Tapi menghadapi anak-anak buah Bergola Wungu
yaitu Ketut Ireng, Seta Inging, dan Pitala Kuning merak kalah gesit.
Dalam sembilan
jurus Krocoweti terpaksa pasrahkan nyawa dilanda ruyung berduri Pitala
Kuning! Krocoweti menggeletak di tanah dengan dada melesak!
Tiga jurus kemudian menyusul Majineng. Lehernya hampir kutung terbabat
kelewang Seta Inging. Pertempuran yang agak lama berlangsung ialah
antara Ketut Ireng
dan Saksoko. Kedua orang ini mempunyai tingkat kepandaian yang sama dan
sama-sama bersenjatakan golok. Namun oleh kemenangan kedua kawannya
Ketut Ireng
mendapat semangat dan nyali besar. Lima jurus di muka sambaran goloknya
tiada tertahankan. Akhirnya Saksoko yang berbadan gemuk pendek itu
menjerit mengerikan
ketika perutnya yang buncit terbabat ujung golok! Ususnya membusai dan
menjela-jela di tanah!
Rahang-rahang Kalingundil kelihatan mengatup rapat dan bertonjolan.
Kedua kakinya terpentang. Saat itu karena gelap tak seorangpun yang
melihat bagaimana
kedua lengan Kalingundil menjadi hitam samapi ke jari-jari tangannya.
Didahului dengan suara bentakan yang bukan saja dahsyatnya menggetarkan
dada tapi
juga menggetarkan tanah maka melompatlah Kalingundil ke tengah halaman
di mana tiga anak buah Bergola Wungu berada. Tujuh belas tahun yang
lampau kehebatan
pukulan lengan baja itu sudah mengagumkan. Dan kini dapat dibayangkan
bagaimana keampuhannya!
Tiga pekik kematian merobek kegelapan malam! Ketut Ireng, Seta Inging
dan Pitala Kuning terlempar sampai lima-enam tombak dan menggeletak di
tanah tanpa
nyawa! Bergola Wungu saksikan kematian yang mengenaskan ketiga muridnya
itu dengan tubuh bergetar.
"Bergola Wungu! Kau tunggu apa lagi! Majulah jika kau benar-benar ingin
membalaskan dendam kesumat seribu karat!"
Meski bagaimana kobaran amarahnya namun Bergola Wungu menyahuti, "Jangan
bicara terlalu keren, keparat! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan
kau bernafas
beberapa jam lagi! Aku Bergola Wungu menunggu kau besok pagi waktu
matahari terbit di pekuburan Jatiwalu! Aku ingin nyawamu terbang ke
neraka disaksikan
makam ayahbundaku!" Habis berkata demikian, Bergola Wungu putar tubuh.
Tapi saat itu Kalingundil sudah menyerbunya dengan kedua tangan
terpentang!
Bergola Wungu yang tahu kehebatan lengan baja itu tak berani menyambuti.
Dia berkelit ke samping dan lambaikan tangan kanannya. Serangkum angin
menyambar
ke dada Kalingundil. Kalingundil melompat ke samping dan hantamkan
lengannya kembali. Tapi ini juga dapat dielakkan Bergola Wungu. Dalam
sebentar saja
kedua orang ini sudah terlibat dalam tiga jurus. Memasuki jurus keempat
tiba-tiba dari bagian yang gelap di bawah pohon mempelam terdengar suara
memaki.
"Kalingundil edan! Orang sudah kasih kesempatan untuk bertempur besok
pagi masih saja beringasan! Gelo betul!" Kalingundil keluar dari
kalangan pertempuran.
Segera dia hantamkan lengannya ke jurusan datangnya suara.
"Jangan memaki saja kunyuk! Keluarlah unjukkan diri!"
Angin dahsyat melanda ke tempat gelap, menghantam pohon mempelam sampai
pohon itu tumbang. Tapi orang yang memaki sudah kabur. Dan ketika
menoleh ke samping,
Bergola Wungu pun sudah lenyap!
Akan Nilamsuri begitu mengenali suara yang memaki tadi tanpa tunggu
lebih lama dia segara mengejar ke tempat gelap. Beberapa puluh meter
kemudian, di pinggiran
kampong dekat pematang sawah, orang yang dikejar tahu kalau dirinya
dikuntit. Dengan pergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sampai ke
puncak yang
sangat tinggi dia melompat ke satu cabang pohon dan menunggu. Nyatanya
yang mengejar adalah si gadis baju biru itu. Segera dia lompat turun
kembali.
"Kita berjumpa lagi, Nilamsuria."
"Eh, dari mana kau tahu namaku?" gadis itu tanya dengan heran.
Wiro Sableng tertawa dan menjawab, "Terlalu banyak manusia tempat
bertanya. Terlalu banyak mulut yang bisa kasih keterangan! Ada apa kau
mengejar aku?!"
"Ada apa kau ikut campur urusan ayahku?!" balik menanya Nilamsuri. Wiro
Sableng melangkah mendekati gadis itu. Matanya yang memandang tajam
membuat hati
si gadis menjadi berdebar. Wiro semakin mendekat juga. Nilamsuri
menyurut mundur namun badannya tertahan oleh batang pohon.
"Ayahmu Kalingundil, bukana.?" desisnya.
Gadis itu mengangguk.
Wiro menyeringai. Dipegangnya bahu gadis itu. Nilamsuri hendak
menyibakkan tangan itu tapi tak jadi karena saat itu Wiro membungkukkan
kepalanya. Rasa panas
menjalari darah ditubuhnya ketika bibir pemuda itu berani mengecup
bibirnya. Kemudian tangan yang lain dari si pemuda mengusap mukanya. Dia
diam saja.
Juga masih diam ketika tangan itu meluncur turun ke bawah lehernya.
"Wiroa. kau ini ceriwis sekalia. ceriwis sekali," bisik gadis itu
setengah merintih.
Pemuda itu menyeringai.
"Kenapa kau ikuti akua.?"
"Aa. aku suka padamu Wiroa."
Wiro tak banyak tanya lagi. Dipanggulnya tubuh yang montok itu lembut
itu dan dilarikannya ke tengah sawah dimana terdapat sebuah dangau.
Angin malam terasa
sangat dingin di udara yang terbuka itu. Tapi tubuh mereka dilanda
keringat panas dalam melakukan apa yang belum pernah mereka alami
sebelumnya, dalam
merasakan apa yang mereka tak pernah rasakan sebelumnya!
*****
Sinar matahari pagi memerak kekuningan. Udara segar sekali. Namun
kesegaran itu tiada dirasakan oleh tiga manuisa yang berada di pekuburan
Jatiwalu. Yang
dua adalah Bergola Wungu dan musuh besarnya Kalingundil. Yang ketiga
Nilamsuri. Paras gadis ini agak pucat. Bergola Wungu hentikan langkahnya
beberapa
tombak di hadapan Kalingundil.
"Keluarkan senjatamua Kalingundil!"
Kalingundil tertawa bergelak dan meludah ke tanah. "Untuk menghadapi
manusia macam kau tak perlu pakai senjata segala! Mulailah!." Mulut
Kalingundil komat-kamit
dan sebentar kemudian kelihatanlah kedua lengannya menjadi hitam!
Tergetar juga hati BergolaWungu melihat dua lengan lawan itu. Tapi tentu
saja tak diperlihatkannya. Malahan dia berkata, "Bagus kalau tak mau
pakai senjata.
Itu mempercepat aku mengirimkan kau ke neraka!"
Bergola Wungu mencabut golok panjangnya. Dengan ujung senjata itu dia
menunjuk ke arah dua buah makam di bukit pekuburan.
"Kau lihat dua makam di lereng sana, Kalingundil?!"
Kalingundil tak berani mengalihkan pandangannya karena khawatir ini
hanya tipuan belaka.
"Itu adalah makam ayah bundaku. Roh-roh penghuni makam itu akan bersorak
gembira bila menyaksikan sesaat lagi kepalamu kubabat menggelinding!"
"Tak perlu jual bacot manusia hina! Terima lenganku!"
Disertai angin yang dahsyat maka kedua lengan Kalaingundil memukul susul
menyusul. Bergola Wungu kiblatkan golok memapas salah satu lengan
lawan! Betapa
terkejutnya dia ketika goloknya tidak mempan membabat lengan lawan
malahan mata goloknya menjadi sumplung! Dengan segera Bergola Wungu
keluarkan jurus
terhebat dari ilmu goloknya yaitu jurus "merobek langit." Sesaat saja
terbungkuslah tubuh Kalingundil oleh sinar golok! Dan satu jurus dimuka
Kalingundil
terdesak hebat. Berkali-kali dia hantamkan lengannya ke arah lawan namun
Bergola Wungu berkelit sangat cepat. Dengan penasaran Kalingundil coba
menyampoki
senjata lawan dengan kedua lengannya.
Tapi Bergola Wungu tidak bodoh. Mana dia mau adu senjata dengan lengan
yang kerasnya macam baja itu!
"Ha... ha... lekaslah minta tobat pada Tuhan atas kesalahan-kesalahanmu,
Kalingundil! Sebentar lagi kepalamu akan menggelinding!" ejek Bergola
Wungu.
Geram Kalingundil bukan alang kepalang. "Kita akan lihat siapa yang
bakal meregang nyawa lebih dahulu kunyuk berewok!", balasnya mengejek.
Kalingundil berseru
keras, "Terima senjata rahasiaku ini, kunyuk!"
Ratusan jarum hitam kemudian menggebubu menyerang Bergola Wungu tapi
dengan satu kali putaran golok saja senjata rahasia itu gugur semua ke
tanah!
"Hebat! Hebata. hebat!" terdengar suara dari jurusan barat. Orang yang
bicara itu jauhnya masih sekitar seratus tombak.
Namun begitu suaranya
berakhir serentak
itu pula dia sudah berada di tempat pertempuran itu! Dapat dibayangkan
hebatnya ilmu lari orang itu.
"Hebat memang hebat, Bergola Wungu! Tapi mungkin kau tidak tahu bahwa
manusia itu adalah bagianku!"
Baik Bergola Wungu maupun Kalingundil sama lompatkan diri dari kalangan
pertempuran. Bagi Kalingundil ini adalah satu keuntungan karena saat itu
dirinya
terdesak. Keduanya memandang pada orang yang berdiri di bawah pohon.
Kalingundil kerutkan kening sedang Bergola Wungu katupkan rahang
rapat-rapat begitu
kenal pendatang baru itu!
"Kalingundil! Kau tak perlu pandang aku dengan kerut jidat segala!
Dimana manusia bernama Mahesa Birawa?!"
"Orang muda bermulut besar, kau siapa?!" bentak Kalingundil.
"Ditanya malah menanya! Sialan betul!", gerendeng Wiro Sableng. "Tujuh
belas tahun yang silam kau bersama Mahesa Birawa telah membunuh
Ranaweleng, bapakku!
Juga membunuh ibuku dan Jarot Karsa! Apa kau punya otak masih sanggup
mengingatnya?!"
Kalingundil merutuk dalam hati. Apakah manusia ini juga hendak
membalaskan dendam kesumatnya seperti Bergola Wungu? Melihat kepada
tenaga dalam yang menyertai
suaranya tadi Kalingundil sudah dapat mengukur kehebatan manusia ini.
Hatinya mengeluh! Melayani Bergola Wungu saja dia sudah kepepet, apalagi
menghadapi
dua lawan sekaligus!
"Apa maumu orang muda?!"
"Apa maukua.?!" Wiro tertawa bergelak.
Nilamsuri yang merasa cemas segera mengetengahi dengan berkata, "Wiroa.
Dia adalah ayahku!"
"Aku tahu adik manisa," dan si pemuda tertawa lagi. Dalam tertawanya itu
masih bisa dia mengingat kemesraan dan kebahagiaan hidup yang
dirasakannya bersama
gadis itu di dangau di tengah sawah tadi malam. "Karena itulah aku
berbaik hati datang ke sini hanya untuk meminta tangan kanannya saja!"
"Wiro!" muka Nilamsuri menjadi pucat.
Bergola Wungu sendiri tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Wiro Sableng
bukan omong kosong belaka. Dia telah melihat kehebatan pemuda rambut
gondrong ini!
Sebaliknya Kalingundil keluarkan tertawa membahak. "Kurasa kau masih
pantas untuk menetek sama kau punya ibu!", ejeknya.
"Kata-kata itu cukup lucu, Kalingundil! Aku senang pada manusia-manusia
yang suka bicara lucu!" Wiro Sableng melangkah mendekati Kalingundil.
Nilamsuri melompat ke muka hendak menahan si pemuda tapi pada saat itu
pula dari samping Bergola Wungu yang sejak lama menahan kegeramannya
terhadap Kalingundil,
maka ketika melihat anak musuh bebuyutannya itu melompat ke muka, tanpa
tunggu lebih lama segera ditebaskan golok panjangnya!
Nilamsuri melengking! Tubuhnya tercampak ke tanah. Dadanya robek besar.
Darah menyembur! Bergola Wungu yang melihat tidak adanya kesempatan
baginya untuk
turun tangan terhadap Kalingundil segera lari ke lereng bukit pekuburan
dan berseru:
"Manusia bernama Wiro Sableng! Antara kita masih ada sedikit urusan!
Kalau kau merasa punya nyali untuk meneruskan, aku tunggu di Gua
Sanggreng!"
"Setan alas betul!" maki Wiro Sableng.
Dipukulkannya tangan kanannya ke
arah lereng bukit pekuburan. Angin laksana badai menderu dahsyat.
Batu-batu nisan
dan tanah pekuburan beterbangan. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar
diterabas gundul! Tapi Bergola Wungu sudah lenyap dibalik bukit!
Wiro Sableng putar kepala dan dia memaki lagi ketika melihat Kalingundil
melarikan diri. "Boleh saja lari Kalingundil! Tapi tinggalkan lenganmu
dahulu!"
Sekali pemuda itu melompat ke muka maka dia berhasil menyusul
Kalingundil. Tiba-tiba Kalingundil berbalik, cabut keris di pinggang dan
tusukkan ke perut
Wiro Sableng! Serangan yang dilancarkan dengan kalap serta karena
ketakutan itu tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya yang diserang cepat
gerakkan tangan
kanannya.
"Kraak"!
Kalingundil meolong. Tangan kanannya sebatas bahu tanggal. Tulangnya
copot! Daging dan otot seta urat-urat berserabutan mengerikan sekali!
Laki-laki itu
macam babi celeng seradak seruduk kian kemari. Dia hendak lari lagi.
"Eeea. tunggu dulu Kalingundil! Kenapa terburu-buru kabur?! Terima dulu
angka kenang-kenangan ini!" Habis berkata begitu Wiro Sableng benturkan
tapak tangan
kanannya ke jidat Kalingundil! Pada kulit jidat laki-laki ini maka
terpampanglah lukisan telapak tangan berikut lima jari dengan angka 212
pada baigan
tengahnya!
Kalingundil seradak seruduk lagi macam babi celeng! Darah berceceran
dari luka di tangannya. Wiro Sableng tertawa mengekeh. Diperhatikannya
laki-laki itu
berlari macam dikejar setan! Tangan kirinya memutar-mutar lengan
Kalingundil yang masih dipegangnya. Tiba-tiba dilemparkannya potongan
lengan itu.
Laksana
anak panah potongan lengen itu melesat dan menghantam punggung
Kalingundil, membuat laki-laki itu tergelimpang menelungkup di tanah,
tapi segera bangkit
lagi dan lari lagi!
Wiro Sableng hentikan gelaknya ketika telinganya mendengar suara
gerangan Nilamsuri. Cepat didekatinya tubuh gadis itu. Dia berlutut di
tanah. Matanya menyipit
melihat luka besar di dada si gadis. Nyawa Nilamsuri tak mungkin di
tolong lagi. Dibopongnya gadis itu, dibawanya ke tempat teduh dan
dibaringkannya.
"Wiroa." Nilamsuri membuka kedua matanya yang telah menjadi sayu itu.
"Wiroa. peluk akua.," pintanya.
Wiro Sabelng merangkul gadis itu.
"Cium akua. Wiroa."
Si pemuda mencium pipi Nilamsuri. Lalu mengecup bibirnya. Bibir itu
kesat dan dingin kini, tidak basah dan hangat seperti malam tadi. Nafas
Nilamsuri lambat
dan satu-satu. Sinar matanya semakin pudar.
"Umurku untuk mengenalmu hanya sampai di sini, Wiroa." bisik Nilamsuri.
"Aku akan obati lukamu, Nilam. Kau akan sembuha." kata Wiro pula
menghibur.
Nilamsuri tersenyum. Bersamaan dengan memberkasnya senyum itu di
bibirnya maka saat itu pula rohnya lepas meninggalkan tubuh.
Pendekar muda dari Gunung Gede hela nafas panjang. Hatinya beku
menyaksikan kematian gadis itu. Semalam Nilamsuri masih dirangkulnya,
masih dirabanyaa.
tapi kini tubuh itu tiada akan memberikan apa-apa lagi kepadanya. Bahkan
kehangatanpun tidak karena saat itu tubuh Nilamsuri berangsur menjadi
dingin.
Wiro menghela nafas panjang sekali lagi. Disibakkannya bagian pakaian
yang robek di dada gadis itu. Pada bagian kulit dada yang masih utuh,
tepat di atas
buah dada sebelah kiri si gadis, dengan pergunakan ujung telunjuk jari
tangan kanannya, Wiro menggurat tiga barisan angka: 212.
Disandarkannya tubuh tanpa nyawa itu ke batang pohon dengan hati-hati.
Lalu melangkahlah pendekar ini meninggalkan tempat itu. Dan seperti tak
pernah terjadi
apa-apa, seperti tak satupun yang barusan dialaminya, dari sela bibir
pemuda ini terdengarlah suara siulan. Siulan melagukan nyanyi tak
menentu.
riro
Episode Berikutnya: MAUT BERNYANYI DI PAJAJARAN
Sumber : ARIENTALLA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
TAMU YANG BAIK SELALU KOMENTAR DAN ISI BUKU TAMU