WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode :
Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
=======================
"Ini!" kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar.
"Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!!
Kau dengar!?"
Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Diambil surat yang
disodorkan. "Kalau dia banyak bacot.....," kata laki-laki berkumis
melintang itu pula, "bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu
bawa Saksoko!"
Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil
baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali,
laki-laki yang berkumis
tebal itu.
"Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!" Dibulatkannya
tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
"Brakk!!"
Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam
lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya
menggeletar
oleh amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya
terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri.
"Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting
malah dan punya anak malah! Keparat!" Suranyali berdiri dengan nafas
menghempas-hempas
di muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di
ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi
baru dua teguk
air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis.
"Keparat!" maki Suranyali lagi. Dibantingkannya kendi itu ke tanah
hingga pecah berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan
kepalanya di pintu
sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat
diam menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti
itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya
betapa letih
badannya.
"Ludjeng!" teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk
bergegas.
"Ya, Denmas Sura....".
"Kau juga keparat!" damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya
menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa
kau sudah gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!."
Wilujeng terdiam
dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia
memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar
dia memanggil
dengan nama Mahesa Birawa.
"Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!"
"Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa....."
"Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!"
Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa
segelas air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali
sedikit.
Kemudian dia
duduk tenang-tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka
kembali terbayang saat setahun yang lewat.
Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis
itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di
tepi kali tempat
mencuci, dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis
itu. Memang akhirnya Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali,
tapi ini bukanlah
karena dia suka terhadap Sura melainkan karena kasihan belaka. Tapi
celakanya Suranyali salah tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah
terpikat kepadanya.
Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum
pergi, Sura menemui Suci dan berkata, "Suci, aku akan pergi ke Gunung
Lawu. Mungkin
satu tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar.
Jika aku kembali aku akan mengawini kau....."
"Tapi Kangmas Sura....."
Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali
melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya. Suci
mundur.
"Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang....."
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk
menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak
lamaran tadi! Dan dalam
kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng
seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci
perkawinannya dengan
Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali
karena memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tak pernah
menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka
kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah
amarahnya ialah
bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan
sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana
tapi bahagia
dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.
Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri,
sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur
karena adalah memalukan
sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak
mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar
Suranyali bukan
manusia berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka
hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa
sepucuk surat
ancaman kepada Ranaweleng.
Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya
ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah
ke jendela dan
memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya
mencengkeram sanding jendela.
"Suci musti dapat..... musti dapat!" katanya dalam hati yang dikecamuk
amarah itu.
"Kalau tidak.....," Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai
gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu
sanding itu pecah
berantakan!!
DUA
Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki-laki tua yang tengah
mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya
dengan
membentak kasar, "Ini rumahnya Ranaweleng?!"
Orang tua berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri
nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya
dan dikeataskannya
topi bambo yang menutupi keningnya untuk dapat melihat orang yang telah
bicara kepadanya. Orang tua ini tak segera berikan jawaban melainkan
melirik kepada
Saksoko yang duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
"Orang tua bego!" maki Kalingundil. Laki-laki bertubuh langsing ini
memang bersifat tidak sabaran. "Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!"
"Ya!" jawab Kalingundil.
"Ada keperluan apa Saudara?"
Si gemuk pendek Saksoko kini yang buka suara. Suaranya parau dan tidak
enak didengar. "Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang tua pikun
minggirlah!"
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke
depan maka terpelantinglah si orang tua kena terajakan kaki binatang
yang ditunggangi
Saksoko itu!
Orang tua itu bangun dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur
dimakan umur kelihatannya menyorot. Dengan kaki kirinya ditendangnya
secara acuh tak acuh
topi bambunya yang tergeletak di tanah.
Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam
kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik
dahsyat. Kedua
kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke
tanah!
Si orang tua diam-diam merasa puas. Dengan sikap seperti tidak terjadi
apa-apa dia memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti
rerumputan di
halaman! Bola mata laki-laki gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk
beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
"Saksoko, ada apa dengan kau?!" tanya Kalingundil terkejut dan heran.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Saksoko seraya bangun dengan
menepuk-nepuk pantat celananya. Dia memandang berkeliling. Tidak ada
siapa-siapa kecuali orang
tua yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata laki-laki itu
membetnur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya
curiga. Tapi
bila dilihatnya lagi orang tua kurus dan bongkok itu kecurigaannya
menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya. Tak mungkin kalau kakek-kakek
pikun itulah yang
telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya.
Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya.
Dilihatnya orang tua itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian dia berkata,
"Kurasa orang tua
kerempeng itu....."
Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam
ilmu silatpun dia lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
"Mana mungkin," kata Saksoko pula tidak percaya.
"Coba kita lihat."
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di
tanah. Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada
orang tua yang masih
jongkok dan mencabuti rumput dekat pagar halaman. Kalingundil
menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat
deras ke arah kepala
si orang tua.
Begitu acuh tak acuh sekali, orang tua yang jongkok membelakangi itu
gerakkan tangan kanannya untuk menggaruk bagian belakang kepalanya. Dan
adalah mengejutkan
kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat
bagaimana topi bamboo itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah!
Kalingundil
dan Saksoko saling pandang.
"Apa kataku, kau lihat?" desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko.
"Orang tua edan!" makinya. "Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih
pamer!" Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya
ke arah si
orang tua. Meski hanya pasir namun karena diisi dengan tenaga dalam maka
pasir itu melesat hebat dan dapat melukakan kulit membutakan mata!
Si orang tua tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk.
Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya seperti seseorang yang sedang
membersihkan debu dari pakaiannya.
Tapi gerakannya ini sekaligus membuat berhamburannya pasir-pasir halus
yang menyerang ke arahnya!
"Kurang ajar betul!" damprat Saksoko karena merasa semakin ditantang dan
dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak
dilepaskannya
pukulan tangan kosong. Orang tua itu memutar badannya yang bungkuk ke
samping.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya dengan suaranya yang halus melengking, "ada
apa kau serang aku?!"
Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko
hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya. Saksoko kertak rahang.
"Orang tua gelo! Siapa kau sebetulnya?!"
Orang tua itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang
sepotongpun. "Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!," katanya dan
didorongkannya
telapak tangan kanannya ke depan. Setiup angin dahsyat melanda tubuh
Saksoko. Kalau tidak cepatcepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini
akan mendapat
celaka.
Begitu melompat ke samping segera dia kirimkan satu jotosan kepada orang
tua itu. Pada saat inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras:
"Ada apa di sini?! Tahan!!"
Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling. Seorang laki-laki muda
berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga
langkan. Kemudian
dilihatnya Kalingundil memberi isyarat agar datang mendekatinya. Meski
hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang tua tapi melihat
isyarat kawannya
itu segera dia datang juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
"Kau Ranaweleng?" tanya Kalingundil membentak.
Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, baru ini harilah Ranaweleng
dibentak orang demikian rupa dan oleh orang asing pula! Dari
tampang-tampang serta
sikap kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu
datang bukan membawa maksud baik. Namun demikian, dengan suara ramah dia
menjawab:
"Betul, Saudara, aku memang Ranaweleng," lalu tanyanya kemudian,
"Saudara-saudara datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya. "Ini! Silahkan
dibaca!" katanya. Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan
Ranaweleng. Karena
lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut
melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada
tiang langkan!
Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang
menancap dari tiang langkan lalu dibacanya. Kalingundil dan Saksoko
memperhatikannya
dengan bertolak pinggang.
Ranaweleng keparat!
Aku kasih tempo satu hari untukmu agar angkat kaki
dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan
istrimu! Ini adalah perintah! Kalau kau tidak patuhi,
jangan harap kau bisa melihat matahari tenggelam
esok hari! Ini adalah perintah!
Mahesa Birawa
Bergetar tubuh Ranaweleng. Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah.
Dia tak pernah kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu,
bahkan juga tak
pernah dengar nama atau riwayat manusia itu sebelumnya. Matanya
memandang melotot pada kedua tamunya. "Mahesa Birawa ini siapa?" tanya
Ranaweleng.
Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab. "Laki-laki yang
kau rampas kekasihnya dan yang kini menjadi istrimu!"
Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang. Belum dia sempat bicara Saksoko
sudah mendahului. "Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga
Ranaweleng!"
Kalingundil menyambungi, "Dan sebaiknya..... apa yang tertulis di surat
itu kau ikuti saja."
"Kalau tidak?," tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan
coklat kehitaman. Ranaweleng tak dapat lagi menahan luapan amarahnya.
Diremasnya dan
dipatah-patahkannya kayu penyepit surat lalu dilemparkannya ke kepala
Kalingundil, tepat mengenai mulut yang sedang tertawa mengekeh itu!
"Bangsat rendah!" hardik Kalingundil. Dia meloncat ke muka. "Kau berani
berlaku kurang ajar terhadapku, huh?!"
"Tak usah jual lagak di sini, setan!" balas menghardik Ranaweleng.
"Kalian budak-budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang
sama itu manusia
Mahesa Birawa agar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati
otaknya yang tidak waras!"
"Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!" semprot Saksoko. Dari
tadi dia memang sudah beringasan gara-gara si orang tua yang telah
mempermainkan
dan setengah menantangnya tadi. Sekali dia ayunkan langkah maka satu
tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut
Ranaweleng.
Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan
kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke
tulang iga lawan.
Saksoko bukan manusia yang baru belajar ilmu silat kemarin. Sambil
melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan.
Ranaweleng merunduk
dan lompat ke samping. Sebelum dia berbalik untuk mengirimkan pukulan ke
punggung lawan yang saat itu masih belum menginjak lantai langkan maka
terdengarlah
suara seseorang.
"Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk
kesasar ini?! Biar aku si tua bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit
pelajaran sopan
santun terhadapnya!" Ternyata yang berkata itu adalah orang tua renta
kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan
pembantu Kepala
Kampung Jatiwalu.
Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko.
Dia membalik dan menyerang orang tua itu kini dengan satu pukulan jarak
jauh yang
menimbulkan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke pusat jantung di
dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut
nyawa si orang
tua detik itu juga!
Tapi Jarot Karsa ganda tertawa. Sekali dia gerakkan tangan kanannya yang
kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek
Saksoko. Angin
pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah
dengan dorongan angin pukulan si orang tua maka kedahsyatannya bukan
olah-olah!
Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah sampai tiga tombak dan
menggelinding di tanah. Dicobanya bangun kembali. Tapi tubuhnya itu
segera rebah lagi
setelah terlebih dahulu dari mulut Saksoko menyembur darah kental dan
segar! Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi.
Laki-laki ini menerjang
ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek
membuat langkan rumah dan tanah menjadi bergetar!
Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh
Kalingundil. Serangkum angin keras dan dingin menyerang ke seluruh jalan
darah di tubuh
orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu. Jarot Karsa
cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan
bertemu di udara
menimbulkan suara berdentum seperti letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa
kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi
cepat bangun
lagi.
Keringat dingin memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini. Nyalinya
menciut kecil. Tak nyana si orang tua memiliki kehebatan demikian rupa!
Tak diduganya
sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan
tenaga dalam Jarot Karsa!
Tapi laki-laki ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya
karena amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa
sesungguhnya si
orang tua bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan
itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan
gerak gerik
manusia itu dengan tajam. Kelihatan kini bagaimana sepasang lengan
Kalingundil sampai ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.
"Ha.....ha....," terdengar kekehan si tua Jarot Karsa, "Kau hendak
pamerkan ilmu lengan tangan baja?!"
Kalingundil terkejut. Terkejut karena belum apa-apa musuh sudah
mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak
diperlihatkannya, bahkan
dia pentang mulut.
"Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kau kehebatan
ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!"
"Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!" tantang Jarot Karsa.
Kalingundil menggeram. Kebetulan saat itu dia berdiri di dekat langkan
rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka: brak!! Tiang langkan yang
besarnya hampir
menyamai paha manusia patah. Atap rumah menurun miring! Sebenarnya Jarot
Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang
tua yang
sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan masakan dia jerih
menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
"Ayo monyet kesasar, majulah!" katanya dengan terbungkuk-bungkuk. Kedua
telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka,
sedikit miring.
Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu
kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji 'lengan
tangan baja.' Angin
yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang
kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang
Jarot Karsa,
kalau kena pastilah pinggang orang tua itu akan terkutung dua. Lengan
kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa.
Dapat dibayangkan
bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang tua akan hancur
berantakan!
Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus
darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah.
Nafasnya sesak,
lidahnya menjulur keluar seperti orang yang tercekik dan matanya
melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah
menyembur dari
mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan
menyusul kawannya yang terdahulu.
Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua manusia yang
melingkar di tanah itu. Kemudian dia berpaling pada si orang tua. "Bapak
Jarot Karasa,
kau kenal dengan manusia yang bernama Mahesa Birawa itu?"
Jarot Karsa menggeleng. "Siapa dia tak penting Raden. Yang penting ialah
mulai saat ini kita musti waspada karena cepat atau lambat manusia itu
pasti datang
ke sini untuk membuat perhitungan dengan kita!"
Ranaweleng mengangguk. "Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih lama
di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot."
Si orang tua tertawa mengekeh. "Tak usah khawatir...... tak usah
khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden."
Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh
Kalingundil dan Saksoko mencelat seperti bola, dan angsrok di luar pagar
halaman.
TIGA
Kedua mata Mahesa Birawa alias Suranyali yang menutup dalam tidur-tidur
ayam membuka lebar-lebar bila telinganya menangkap suara derap kaki kuda
yang memasuki
pekarangan. Dia bangun dan melangkah cepat ke pintu muka. Dan matanya
yang tadi membuka lebar itu kini tampak membeliak. Setengah meloncat dia
turun ke
tanah.
"Ada apa dengan kalian?!" tanya Mahesa Birawa. Pertanyaan ini hampir
merupakan teriakan. Kedua kuda itu berhenti. Penunggangnya, Kalingundil
dan Saksoko
turun perlahan-lahan. Pakaian mereka kotor oleh darah dan debu. Muka
keduanya pucat pasi. Melihat ini Mahesa Birawa segera maklum bahwa kedua
anak buahnya
itu mendapat luka dalam yang parah.
Kalingundil berdiri terbungkuk-bungkuk sambil mengurut dada.
Pemandangannya masih berkunang-kunang. Saksoko begitu menginjakkan kedua
kakinya di tanah segera
tergelimpang, muntah darah lagi lalu pingsan! Mahesa Birawa melompat dan
cepat menubruk Saksoko. Dari dalam sabuknya dikeluarkannya sebutir pil
dan dimasukkannya
ke dalam mulut Saksoko. Sebutir lagi kemudian diberikannya pada
Kalingundil.
"Telan cepat!," katanya. "Kalau sudah, lekas atur jalan nafas dan
darahmu!" Kalingundil menelan pil yang diberikan lalu cepat-cepat duduk
bersila di tanah
untuk mengatur jalan nafas dan darahnya. Tak lupa dia mengalirkan tenaga
dalamnya ke bagian tubuh yang tadi kena terpukul.
Satu jam kemudian keadaan Kalingundil boleh dikatakan siuman meski masih
berbaring menelentang di atas sebuah tempat tidur.
"Sekarang!" kata Mahesa Birawa sangat tidak sabar dan sambil menggeprak
meja, "terangkan apa yang terjadi Kalingundil!"
Kalingundil tarik nafas panjang. Diurutnya dadanya beberapa kali lalu
mulailah dia memberi keterangan. Dan bila Mahesa Birawa selesai
mendengar keterangan
itu maka mendidih darah di kepalanya. Mukanya hitam membesi. Kumisnya
yang tebal melintang bergetar. Matanya yang memang sudah besar itu dalam
keadaan
melotot seperti mau tanggal dari rongganya!
"Kalingundil! Siapkan kudaku! Panggil Majineng dan Krocoweti. Kalian
bertiga ikut aku ke tempatnya itu manusia haram jadah! Lekas.....!"
Kalingundil tanpa banyak bicara tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
kelihatanlah empat orang penunggang kuda menderu laksana terbang. Debu
mengepul,
pasir berhamparan. Mahesa Birawa memacu kudanya di muka sekali.
Orang tua bernama Jarot Karsa itu mengusap dagunya. Tanpa berpaling pada
Ranaweleng yang berdiri di sampingnya dengan mata yang memandang tajam
ke muka
dia berkata, "Dugaan kita tidak salah, Raden. Mereka datang. Agaknya
yang di depan sendiri itu adalah manusia yang bernama Mahesa
Birawa....."
Ranaweleng memandang pula ke muka. Hatinya mengeluh. Inilah pertama
selama menjadi Kepala Kampung dia menghadapi kesukaran dan kekerasan
macam begini! Bahkan
dia tadi belum sempat menyelesaikan pembicarannya dengan Suci ketika
Jarot Karsa memanggilnya, memberi tahu kedatangan empat penunggang kuda
itu. Ketika
Mahesa Birawa sampai di halaman, Suci pun saat itu sudah berdiri di
belakang suaminya.
Mahesa Birawa hentikan kudanya. Sorotan matanya seganas kelaparan
tertuju pada Ranaweleng. Di belakangnya Kalingundil memberikan kisikan.
"Laki-laki tua
yang berdiri di dekat tiang itulah bangsatnya yang telah mencelakai aku
dan Saksoko. Hati-hati terhadap dia, Mahesa. Ilmunya tinggi sekali....."
"Kau manusia kintel tutup mulut! Tak usah kasih nasihat padaku!"
membentak Mahesa Birawa. Kalingundil terdiam. Digigitnya bibirnya. Dan
saat itu dendam
serta bencinya terhadap kedua orang yang berdiri di langkan rumah itu,
terutama Jarot Karsa, tak dapat dilukiskan.
Mahesa Birawa memandang sekilas pada Suci yang berdiri di belakang
suaminya. Nafsu untuk dapat memiliki perempuan ini yang tak kesampaian
atau belum kesampaian
membuat amarahnya semakin meluap-luap. Dadanya seperti mau pecah. Saat
itu meski sudah bersuami dan punya anak satu tapi Suci dilihatnya
semakin tambah
cantik dan muda jelita. Bola mata Mahesa Birawa bergerak ke jurusan
Jarot Karsa setelah terlebih dahulu menyapu tampang Ranaweleng dengan
garangnya.
"Anjing tua yang di atas langkan turunlah untuk menerima mampus!" suara
Mahesa Birawa begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga
dalam yang
tinggi sudah mencapai puncak kesempurnaannya.
Jarot Karsa sunggingkan senyum tawar. Sekali dia menggerakkan kedua
kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah,
beberapa tombak di
hadapan kuda Mahesa Birawa. Gerakannya waktu melompat tadi enteng
sekali. Senyum datar yang mengejek tersungging lagi di mulut orang tua
ini.
"Ini manusianya yang bernama Mahesa Birawa?! Yang inginkan istri orang?!
Kalau kau tidak sedeng tentu sinting! Apa kunyukmu yang satu ini sudah
kasih tahu
padamu agar mencari dukun untuk mengobati otak miringmu?!"
Bergetar badan Mahesa Birawa mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung
jari-jari kaki! "Anjing tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau
harus pasrahkan
nyawa kepadaku!"
Mahesa Birawa enjot diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh
melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum
angin sedahsyat
badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Jarot Karsa melengking dan melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin
pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah
Ranaweleng. "Bapak Jarot minggirlah, biar aku yang hadapi manusia
pengacau ini!"
"Ah Raden....," kata Jarot Karsa dalam keadaan tubuh masih mengapung di
udara. "Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah
Raden bersusah
payah. Dalam satu dua jurus ini akan kusapu badannya keluar halaman!"
Mahesa Birawa kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul.
Deru angin yang dahsyat melanda ke arah Jarot Karsa. Si orang tua, yang
rupanya ingin
menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, balas
mengirimkan pukulan tangan kosong.
Letusan sedahsyat meriam berdentum ketika dua tenaga dalam itu saling
bentrokan di udara. Gendang-gendang telinga seperti menjadi pecah dan
pekak. Tubuh
Mahesa Birawa kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya sedangkan
Jarot Karsa jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Jarot Karsa sendiri, tapi Ranaweleng-pun kagetnya bukan main.
Suci yang berdiri di belakang suaminya dan menyaksikan itu menjerit
tertahan karena
menyangka si orang tua mendapat celaka besar. Ternyata tenaga dalam
Mahesa Birawa demikian tingginya, lebih tinggi dari tenaga dalam Jarot
Karsa.
Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Jarot Karsa segera
melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir
tak kelihatan,
menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. Hampir
dua jurus Mahesa Birawa terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya
memerihkan
matanya. Mahesa Birawa atau Suranyali mau tak mau mempercepat pula
gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi
berlalu, maka
Jarot Karsa mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya
harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu
sudah hampir
tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu
serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu
gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Jarot Karsa, dengan mengandalkan
ilmu mengentengi
tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku
kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan
sekaligus tangannya
yang lain memapaki gerakan mengelak dari Mahesa Birawa.
"Buk!!"
Mahesa Birawa terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya memencong
menahan sakit pukulan tangan kanan Jarot Karsa yang bersarang di dada
kirinya.
Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu,
Jarot Karsa tertawa mengekeh.
"Jika kau masih juga belum mau angkat kaki dari sini bersama
kunyuk-kunyukmu itu, jangan menyesal kalau mukamu nanti akan benjat
benjut macam mangga busuk!"
Tampang Mahesa Birawa kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan
kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi
ke belakang
di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Mahesa Birawa
kemudian kelihatan menjadi hijau dan bergeletar.
"Bangsat tua bangka!" kertak Mahesa Birawa, "lihat tangan kananku.
Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini....!"
Jarot Karsa kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan
kanan Mahesa Birawa yang semakin lama semakin bertambah hijau itu. Meski
dia sudah
hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan
setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga
hatinya
meliahat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak
tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!
Akan tetapi Ranaweleng, begitu melihat tangan Mahesa Birawa yang menjadi
hijau itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan kisikan
pada Jarot
Karsa dengan mempergunakan ilmu "menyusupkan suara."
"Bapak Jarot, hati-hati. Pukulan yang hjendak dilepaskan itu adalah
pukulan uKelabang Hijau - Hebatnya bukan main dan sangat beracun....!"
Jarot Karsa menindih rasa terkejutnya. "Pukulan Kelabang Hijau....,"
keluhnya dalam hati. Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak
menyaksikan sendiri.
Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang
memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang Resi bernama Tapak
Gajah yang
diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki
ilmu pukulan itu. Apakah Mahesa Birawa ini muridnya Tapak Gajah?
Kerut-kerut pada kening Jarot Karsa mengendur sedikit. Dicobanya
menunjukkan mimik mengejek. "Hanya pukulan Kelabang Hijau, apakah perlu
ditakutkan....!"
kata seorang tua
bungkuk itu.
Diam-diam Mahesa Birawa menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui
ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. "Kalau
sudah tahu mengapa
tidak segera berlutut, anjing tua?!"
"Hanya monyet edan yang akan berlutut di hadapanmu Mahesa Birawa.
Terimalah ini....!" dan tangan Jarot Karsa mendahului melepaskan pukulan
tangan kosong
yang dahsyat. Setengah tombak lagi angin pukulan yang menghembuskan maut
itu melanda tubuh dan kepala Mahesa Birawa maka kelihatanlah laki-laki
ini meninjukan
tangan kanannya ke muka!
Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hijau melesat
ke muka. Angin pukulan Jarot Karsa terdorong dan balik menyerang orang
tua itu sendiri!
Jarot Karsa melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hijau pukulan
Kelabang Hijau telah melanda pinggangnya. Suci menjerit dan menutup
mukanya dangan
kedua tangan. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya
terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hijau. Dia mengerang dan
menggelepar-gelepar seketika,
kemudian nafasnya lepas, maka tubuhnya melingkar tanpa nyawa!
"Manusia biadab!" bentak Ranaweleng. "Orangku tiada permusuhan dengan
kau. Mengapa kau bunuh dia?!"
Mahesa Birawa atau Suranyali tertawa mengekeh. "Sebentar lagi kau juga
akan mampus Ranaweleng! Tapi aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau
angkat kaki
dari sini. Kalau kau masih keras kepala ketahuilah bahwa ajal sudah di
depan mata!" dan Mahesa Birawa tertawa lagi macam tadi.
"Hari ini aku mengadu nyawa dengan kau manusia iblis!" teriak
Ranaweleng. Maka menerjanglah Kepala Kampung Jatiwalu itu.
EMPAT
"Manusia keparat yang tidak tahu diri, hari ini terimalah mampus di
tanganku!" bentak Mahesa Birawa seraya angkat lengan kirinya untuk
menangkis pukulan
lawan. Dua lengan beradu dengan keras, Ranaweleng terpelanting ke
belakang sedang Mahesa Birawa hanya terjajar beberapa langkah saja.
Lengan Ranaweleng
yang beradu dengan lengan Mahesa Birawa kelihatan kemerahan dan perih.
Laki-laki ini menggigit bibirnya menahan sakit. Dia maklum bahwa tenaga
dalamnnya
lebih rendah dari lawan.
Karena itu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
sampai ke puncaknya, Ranaweleng tidak lebih digdaya dari Jarot Karsa.
Sementara itu
di langkan rumah terdengar jeritan-jeritan Suci pada kedua orang yang
berkelahi itu. "Suranyali! Kakang Rana! Hentikanlah perkelahian ini!
Hentikanlah!"
Suci tidak pernah tahu kalau Suranyali telah berganti nama menjadi
Mahesa Birawa. Dan dia berteriak lagi, "Kalian berdua tidak mempunyai
permusuhan mengapa
musti berkelahi?!"
"Suci masuklah ke dalam!" sahut Ranaweleng kepada isterinya. Saat itu
dia harus jungkir balik di udara mengelakkan pukulan lawannya. Di pihak
Mahesa Birawa
sudah barang tentu tiada niat sama sekali untuk menghentikan
perkelahian. Bahkan teriakan-teriakan Suci tadi mendorongnya untuk lebih
cepat menamatkan
riwayat Ranaweleng!
Dalam sekejapan saja kedua orang itu telah bertempur delapan jurus dan
kelihatanlah dengan nyata betapa Ranaweleng terdesak dengan hebat.
Pukulan-pukulan
tangan kosong lawan mengurungnya dari berbagai jurusan. Dengan membentak
keras serta mempercepat gerakannya dan mengandalkan ilmu mengentengi
tubuh, Ranaweleng
berusaha keluar dari kurungan pukulan lawan. Namun percuma saja. Tubuh
Mahesa Birawa laksana bayang-bayang. Bergerak cepat sekali. Dan pada
jurus ke sepuluh
satu hantaman sikut kiri yang keras sekali menyambar rusuk kanan
Ranaweleng.
Ranaweleng merintih tertahan. Mukanya kelihatan pucat kebiruan. Dia
tahu, sekurang-kurangnya dua dari tulang iganya telah patah dan tubuhnya
di bagian dalam
terluka hebat! Untuk beberapa lama dia berdiri limbung dengan
pemandangan mata berkunang-kunang.
"Ha.... ha....," tertawa Mahesa Birawa. "Sebentar lagi Ranaweleng,
sebentar lagi ajalmu akan sampai. Lebih bagus cepat-cepat kau minta
tobat pada Tuhanmu
sebelum mampus!"
Mulut Ranaweleng komat kamit. Rahang-rahangnya menggembung. Kedua
tangannya terpentang ke muka. Dia siap-siap untuk melancarkan pukulan
tangan kosong yang
dahsyat. Di lain pihak Mahesa Birawa berdiri laksana tugu. Kedua kakinya
tenggelam satu senti ke dalam tanah. Tenaga dalamnya dialirkan ke
segenap bagian
tubuh untuk menghadapi serangan lawan.
Tiba-tiba jeritan sedahsyat angin punting beliung keluar dari mulut
Ranaweleng. Kedua tangannya bergerak susul menyusul dan gelombang Angin
Panas menderu
ke arah Mahesa Birawa. Yang di serang membentak dahsyat dan lompat tiga
tombak ke udara. Begitu angin panas menggebubu di bawah kakinya,
membakar hangus
pohon-pohon di belakangnya, maka Mahesa Birawa segera menukik ke bawah
laksana seekor elang. Pukulan Angin Panas yang dilakukan oleh Ranaweleng
membutuhkan
pemusatan tenaga dan pikiran yang besar.
Beberapa detik sesudah dia
melancarkan pukulan tersebut, keadaan dirinya masih terbungkus oleh
pemusatan pikiran
itu sehingga pada saat lawannya menukik dari atas dia terlambat
meneyingkir. Untuk kedua kalinya Ranaweleng harus menerima hantaman
lawan. Kali ini badannya
hampir terjungkal ke tanah. Masih untung dia sempat menggulingkan diri
kalau tidak pastilah tendangan kaki kanan Mahesa Birawa yang mengarah
bawah perutnya
menamatkan riwayatnya!
Begitu bangun, karena tahu bahwa dia tak akan sanggup menghadapi lawan
dengan tangan kosong maka Ranaweleng segera cabut keris eluk tujuh dari
balik pinggangnya!
Tapi betapa terkejutnya Ranaweleng ketika melihat ke muka. Mahesa Birawa
berdiri dengan kedua kaki terpentang. Tangan kiri lurus-lurus ke muka,
tangan
kanan diangkat tingitinggi di belakang kepala dan tangan itu sudah
menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan Kelabang Hijau!
Suci yang telah melihat kedahsyatan pukulan Kelabang Hijau itu menjerti
keras. "Sura!! Jangan....! Hentikan perkelahian ini!"
Suranyali alias Mahesa Birawa sunggingkan senyum berbau maut. "Jika kau
punya sepuluh senjata, keluarkanlah sekaligus Ranaweleng!" katanya
mengejek.
Hati Ranaweleng tergetar hebat. Keringat dingin mebasahi badannya.
Seperti halnya dengan Jarot Karsa dia tak akan sanggup menghadapi
kedahsyatan pukulan
Kelabang Hijau tersebut. Tapi untuk lari menyelamatkan diri, sebagai
seorang laki-laki, sebagai seorang yang berjiwa ksatria, tiada ada dalam
kamus hidup
Ranaweleng. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup sebagai
pengecut! Lagi pula dia sudah tahu benar bahwa lawan betul-betul
menginginkan nyawanya.
Karena itu Ranaweleng ambil keputusan untuk mendahului menyerang.
Dengan keris sakti di tangan, Ranaweleng menerjang ke muka. Namun tetap
sia-sia saja. Pada detik tubuhnya baru dalam setengah lompatan, tangan
kanan Mahesa
Birawa telah memukul ke depan!
Suci menjerit. Tubuh Ranaweleng mencelat mental dan jatuh di tanah tanpa
nyawa. Sekujur kulit tubuhnya bahkan sampai-sampai kepada keris sakti
yang saat
itu masih tergenggam di tangannya menjadi hijau oleh racun ilmu pukulan
Kelabang Hijau!
Suci pun menjerit lagi lalu lari menubruk suaminya. Tapi Mahesa Birawa
cepat meloncat ke muka dan mencekal perempuan itu. Kalau sampai Suci
menyentuh tubuh
suaminya yang mati hijau itu maka dalam sekejapan racun yang menyerap di
tubuh Ranaweleng akan mengalir ke tubuh Suci dan pastilah perempuan ini
akan meregang
nyawa pula!
"Lepaskan aku! Lepaskan aku manusia terkutuk! Biadab!!" pekik Suci.
"Sedikit saja kau menyentuh tubuh laki-laki itu kau akan keracunan
Suci....!"
"Aku tidak takut! Aku juga ingin mati!"
"Kau masih terlalu muda untuk mati....!"
Dan dengan sekali gerakkan tangannya, maka Mahesa Birawa segera
membopong Suci di bahunya. Karena perempuan itu masih meronta-ronta dan
menjerit-jerit serta
memukuli punggungnya, maka Mahesa Birawa segera menotok urat darah besar
di pangkal leher Suci sehingga perempuan itu menjadi kejang kaku kini.
Sambil melangkah ke kudanya Mahesa Birawa memerintah kepada ketiga orang
anak buahnya. "Bakar rumah keparat itu!"
Kalingundil dan Krocoweti serta Majineng segera laksanakan perintah itu.
Dalam sekejapan mata maka tengelamlah rumah besar Kepala Kampung
Jatiwalu itu dalam
kobaran api. Senyum puas membayang di muka Mahesa Birawa. Bila sebagian
dari rumah itu sudah musnah di makan api, maka bersama anak buahnya
segera ditinggalkannya
tempat itu. Jeritan bayi yang baru berumur beberapa bulan terdengar
melengking-lengking di antara kobaran lidah-lidah api yang membakar
rumah.
"Bayi itu! Bayi itu....!" teriak salah seorang di antara orang banyak
yang berkerubung di halaman rumah Kepala Kampung.
"Oroknya Raden Rana....! Aduh, kasihan!"
"Kalau tidak lekas ditolong pasti mati!"
Tapi semua orang di situ hanya bisa berteriak dan berteriak. Mana mereka
berani menghambur menyelamakan bayi itu. Dan suara tangisan bayi
semakin lama semakin
kecil serta parau sementara nyala api mulai membakar tempat tidur di
mana bayi itu terbaring! Pada saat suara tangisan bayi yang menyayat
hati itu hampir
tidak lagi kedengaran, pada saat orang banyak sudah tak tahu lagi apa
yang mesti mereka perbuat untuk menyelamatkan itu orok, maka pada saat
itu pula,
entah dari mana datangnya kelihatan sesosok bayangan berkelebat dan
lenyap masuk ke dalam kobaran api. Sesaat kemudian sosok tubuh itu
keluar lagi dan
melesat ke halaman lalu lenyap di jurusan timur.
Demikian cepat dan sebatnya sosok tubuh itu bergerak sehingga tidak satu
orangpun yang dapat melihat siapa adanya manusia tersebut ataukah betul
bisa memastikan
bahwa sosok tubuh itu adalah sesungguhnya manusia, bukan setan atau
dedemit! Jangankan untuk melihat wajahnya, untuk memastikan sosok tubuh
itu laki-laki
atau perempuan juga tak satu orangpun yang bisa! Begitu cepat dia
datang, begitu cepat dia lenyap! Hanya warna pakaian yang hitam saja
yang bisa dilihat
mata orang banyak saat itu. Dan hanya beberapa detik saja sesudah sosok
tubuh itu lenyap maka rumah Ranaweleng yang terbakar itu runtuh ambruk
dan lidah
api mengelombang tinggi ke udara!
Siapapun adanya sosok tubuh itu, entah dia manusia atau bukan, entah
laki-laki atau perempuan, tapi yang pasti dan semua orang yang ada di
situ tahu, bahwa
sosok tubuh itu telah menyelamatkan bayi Ranaweleng dan melarikannya ke
arah timur!
Ketika Mahesa Birawa membuka pintu kamar dan membaringkan Suci di atas
tempat tidur dan secara tak sengaja memandang ke dinding, maka
meluncurlah seruan
tertahan dari mulut laki-laki ini!
Pada dinding papan kayu jati yang keras itu tertulis rangkaian kalimat
yang berbunyi:
APA YANG KAU LAKUKAN HARI INI
AKAN KAU TERIMA BALASANNYA PADA
TUJUH BELAS TAHUN MENDATANG!
Tiada tertera nama dari siapa yang menulis tulisan pada dinding itu.
Tulisan itu dibuat dengan sangat cepat. Dan Mahesa Birawa tahu, kalau
bukan manusia
yang mempunyai tenaga dalam luar biasa dahsyatna pastilah tak akan
sanggup membuat tulisan semacam itu pada dinding kayu jati yang keras,
karena tulisan
itu dibuat dengan mempergunakan ujung jari!
Adalah hampir tak dapat dipercaya bila di puncak Gunung Gede yang
semustinya sepi tiada bermanusia, pada siang hari yang panas terik itu
terdengar suara
lengkingan tawa manusia! Sekali-sekali lengkingan itu hilang, berganti
dengan suara yang membentak yang kadang-kadang dibarengi oleh suara
gelak membahak
lain! Jelas bahwa ada dua manusia di puncak Gunung Gede saat itu! Dan
keduanya kelihatan tengah bertempur dengan segala kehebatan yang ada.
Bertempur sambil
tertawa-tawa!
Siapakah mereka ini?! Yang berbadan tinggi langsing dan mengenakan
pakaian serta kain hitam adalah seorang nenek-nenek berkulit sangat
hitam berkeringat-kerinyut.
Kulit yang hitam berkerinyut ini tak lebih hanya merupakan kulit tipis
pembalut tulang saja! Mukanya cekung dan
kecekungan ini merambas ke matanya sehingga matanya ini kelihatan
demikian menyeramkan. Berlainan dengan kulit serta pakaiannya yang seba
hitam itu maka
rambut di kepalanya serta alis matanya berwarna sangat putih. Dan rambut
yang putih itu tumbuh sangat jarang di atas batok kepalanya yang hampir
membotak
licin berkilat. Namun lucunya pada kepala yang berambut jarang ini,
nenek-nenek itu memakai lima tusuk kundai. Dan anehnya kelima tusuk itu
tidaklah tersisip
disela-sela rambut yang putih karena memang tidak mungkin untuk menyisip
di rambut yang jarang itu. Kelima tusuk kundai itu menancap langsung ke
kulit
kepala nenek-nenek itu!
Siapakah nenek-nenek ini? Dialah yang bernama Eyang Sinto Gendeng,
seorang perempuan sakti yang telah mengundurkan diri sejak dua puluh
tahun yang lalu
dari dunia persilatan. Selama malang melintang dalam dunia persilatan
itu, sepuluh tahun terakhir Sinto Gendeng telah merajai dunia persilatan
di daerah
Barat Jawa bahkan sampai-sampai ke Jawa Tengah. Selama itu pula dia
telah menyapu dan membasmi habis segala manusia jahat.
Terhadap manusia-manusia jahat, hanya ada satu kesimpulan bagi Sinto
Gendeng untuk dilakukan yaitu membunuhnya! Tidak heran kalau namanya
menjadi harum.
Nama asli dari perempuan ini adalah Sinto Weni. Namun karena sikap dan
tingkah lakunya yang lucu serta aneh-aneh bahkan seringkali seperti
orang yang kurang
ingatan maka lambat laun dunia persilatan menganugerahkan nama baru
padanya yaitu Sinto Gendeng! Atau Sinto Gila!
Siapa pula orang kedua yang berada di puncak Gunung Gede itu dan yang
saat itu bertempur menghadapi Sinto Gendeng? Dia seorang pemuda belia
remaja yang
baru memasuki usia tujuh belas tahun. Tubuhnya tegap, tampangnya gagah
dan kulitnya bersih kuning, hampir seperti kulit perempuan. Rambutnya
gondrong sebahu
dan agak acak-acakan sehingga tampangnya yang keren itu seperti paras
kanak-kanak.
Sebenarnya kedua orang itu sama sekali bukan tengah bertempur karena
pemuda tujuh belas tahun tersebut adalah murid Eyang Sinto Gendeng
sendiri! Bagaimana
sikap tingkah laku gurunya, demikian pula sikap sang murid. Tertawa-tawa
dan menjerit-jerit serta cengar cengir! Meski keduanya tengah melatih
ilmu kepandaian,
namun setiap jurus-jurus serta serangan-serangan yang mereka lancarkan
adalah benar-benar serangan yang berbahaya sehingga bila tidak hati-hati
dapat mencelakai
diri! Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pohon berguguran, semak
belukar tersapu kian kemari oleh angin pukulan dan gerakan tubuh kedua
orang itu yang
laksana bayang-bayang! Di tangan kanan Sinto Gendeng ada sebatnag
ranting kering sedang muridnya memegang sebilah keris bereluk tujuh.
"Ayo Wiro! Serang aku dengan jurus 'orang gila mengebut lalat'! Serang
cepat, kalau tidak aku kentuti kau punya muka!"
Wiro Saksana sang murid tertawa membahak dan menggaruk-garuk kepalanya
sehingga rambutnya yang gondrong semakin awut-awutan. Tiba-tiba suara
tawa membahak
itu menjadi keras dan menggetarkan tanah, menggugurkan daun-daun
pepohonan!
"Ciaaat....!!" Bentakan setinggi jagat keluar dari mulut Wiro Saksana.
Tubuhnya lenyap. Keris yang di tangan kanannya menyapu kian kemari dalam
kecepatan
yang sukar ditangkap oleh mata. Inilah yang disebut jurus: orang gila
mengebut lalat. Dan memang gerakan menyapu-nyapu dengan keris itu
meskipun luar biasa
cepatnya namun kelihatan seperti tak teratur tak menentu. Tubuh Wiro
Saksana hoyong sana hoyong sini. Namun serangan itu telah mengurung si
nenek sakti
Eyang Sinto Gendeng!
Tapi si perempuan tua masih juga mengikik-ngikik. Masih juga petatang
petiting sambil memainkan ranting kering yang di tangannya. Jika saja
yang dihadapi
oleh Wiro Saksana saat itu bukannya gurunya sendiri, bukan seorang sakti
macam Sinto Gendeng, tapi seorang lain pastilah tubuhnya akan
terkutung-kutung
atau sekurang-kurangnya terbabat, tercincang oleh mata keris yang
menyapu-nyapu laksana badai itu!
Sinto Gendeng mengikik. "Geblek kau Wiro! Masih kurang cepat, masih
kurang cepat!" kata Sinto Gendeng.
Sang murid memaki dalam hati.
"Eeeee.... kau memaki ya?!" hardik Sinto Gendeng. "Lihat ranting!"
teriak perempuan tua itu.
Tubuh Sinto Gendeng berkelebat. Tangan kanannya yang memegang ranting
bergerak.
"Awas ketek kananmu, Wiro!" (ketek=ketiak).
Meskipun sudah diperingatkan, meskipun sudah mengelak dengan kecepatan
yang luar biasa namun tetap saja ujung ranting itu lebih cepat datangnya
ke ketiak
kanan Wiro Saksana.
"Breeett!!" Baju putih Wiro Saksana robek besar di bagian ketiak sebelah
kanan!
"Buset....! Untung cuma ketekku!" seru pemuda itu.
Dengan kertakkan
geraham dia menerjang ke muka. "Eyang," katanya, "terima jurus u kunyuk
melempar buah
u ini!" (kunyuk = monyet).
"Ah hanya jurus geblek begitu siapa yang takut?!" menyahuti sang guru.
Wiro Saksana meninjukan tangan kanannya ke muka. Pada saat tangannya
perpentang lurus
maka jari-jari tangannya membuka dan setiup gumpalan angin keras laksana
batu besar melesat ke arah tenggorokan Eyang Sinto Gendeng!
Nenek-nenek itu tertawa cekikikan. Dia meludah. Meski Cuma ludah dan
disemburkan secara acuh tak acuh tapi karena diisi dengan tenaga dalam,
ludah itu berbahaya
sekali bagi pembuluh-pembuluh kulit dan mata. Wiro Saksana berkelit ke
samping. Sambil berkelit dilambaikannya tangan kirinya untuk menambah
perbawa dorongan
pukulan tangan kosongnya tadi yaitu u kunyuk melempar buah u yang agak
menyendat sedikit akibat dipapaki oleh semburan ludah Sinto Gendeng.
Melihat serangan lawan masih terus mengganas ke batang tenggorokannya,
kembali Sinto Gendeng tertawa. Memang manusia satu ini aneh sekali
sifatnya. Bahkan
setiap jurus-jurus ilmu yang diciptakannya diberinya dengan nama-nama
aneh dan lucu. Tak salah kalau banyak orang-orang dalam dunia persilatan
menukar
namanya menjadi Sinto Gendeng!
Suara tertawa nenek-nenek itu lenyap, berganti dengan satu lengkingan
nyaring yang menusuk gendang-gendang telinga. Tubuhnya kelihatan jungkir
balik dan
melesat seperti terbang ke sebuah cabang pohon jambu klutuk! Sekaligus
Sinto Gendeng telah mengelakkan gumpalan angin keras "kunyuk melempar
buah." Angin
keras ini menghajar batang pohon di seberang sana dan batang pohon itu
patah lalu tumbang ke tanah!
Terdengar lagi suara tawa mengikik. Gemas sekali Wiro Saksana memandang
ke atas. Dilihatnya gurunya duduk enak-enakan di cabang pohon jambu
klutuk sambil
menggerogoti buah jambu itu!
"Gendeng betul....!" gerutu Wiro kesal karena serangannya hanya mengenai
pohon.
"Memang namaku Sinto Gendeng!" kata sang guru pula. Kemudian tanyanya,
"Kau mau jambu, Wiro?!"
Dan sebelum Wiro Saksana sempat menyahuti maka gurunya telah
menyemburkan biji-biji jambu klutuk itu ke arahnya. Dua puluh satu butir
biji jambu klutuk
menyerang hampir ke seluruh jalan darah di tubuh Wiro Saksana!
"Ah, cuma bijinya siapa yang sudi!," jawab Wiro Saksana. Dia menghembus
ke udara dan melambai-lambaikan kedua tangannya. Dua puluh satu butir
biji jambu
klutuk itu berguguran ke tanah bahkan tujuh butir di antaranya berbalik
menyerang Sinto Gendeng. Tapi dengan goyangkan sedikit saja kaki
kanannya, maka
nenek-nenek sakti itu membuat ketujuh biji jambu klutuk itu bermentalan!
"Kalau tak sudi biji jambu, terimalah ranting kering ini!" kata Sinto
Gendeng. Dan ranting kering yang di tangan kirinya dilemparkannya ke
bawah, mendesing
laksana anak panah mengarah batok kepala muridnya! Memang Sinto Gendeng
benar-benar seorang perempuan tua yang aneh. Dalam melatih muridnya
setiap serangan
yang dilancarkannya benar-benar merupakan serangan yang mematikan atau
sekurang-kurangnya bisa menimbulkan celaka hebat bila sang murid tidak
berhati-hati.
Setiap jurus ilmu silat yang diciptakannyapun aneh-aneh namanya.
Melihat serangan ranting kering ini Wiro ganda tertawa. Sekali dia
gerakkan tangan kanan yang memegang keris maka ranting kering itu belah
dua tepat di
pertengahannya dan jatuh ke tanah.
"Sebaiknya turun saja dari pohon eyang" kata Wiro Saksana. "Kalau
tidak...."
"Kalau tidak kenapa?" memotong Eyang Sinto Gendeng.
"Sambut keris ini, Eyang....! Sambut dengan jidatmu biar konyol!" Habis
berkata begitu Wiro Saksana tertawa mengakak dan melemparkan keris eluk
tujuh yang
di tangan kanannya. Senjata itu melesat hampir tidak kelihatan karena
cepatnya.
Namun empat detik kemudian terdengarlah suara cekikikan Eyang Sinto
Gendeng. Dan ketika Wiro mendongak ke atas dilihatnya keris yang
dilemparkannya tadi
berada dalam jepitan telunjuk dan jari tengah kanan gurunya. Wiro
Saksana menggerendeng.
Tiba-tiba. "Ini balasan kehormatan untuk keris bututmu, Wiro!" Sinto
Gendeng cabut dua tusuk kundainya dari batok kepalanya yang berambut
putih dan jarang
itu. Dibarengi dengan angin lemparan yang bukan olah-olah dahsyatnya
maka menyambarlah dua tusuk kundai itu ke arah Wiro Saksana. Yang satu
menyerang kepala,
yang lain menyerang perut!
Wiro Saksana yang tahu kehebatan tusuk kundai itu tak mau memapaki
senjata tersebut dengan mengandalkan lambaian tangan yang mengandung
tenaga dalam.
Didahului
dengan bentakan nyaring maka pemuda ini menjejek bumi dan melintangkan
badannya ke udara. Tusuk-tusuk kundai itu lewat di kiri kanannya, terus
amblas ke
dalam tanah!
Eyang Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. "Bagus...., bagus kau tidak
menangkis seranganku dengan hantaman tenaga dalam! Tak satu tenaga dalam
yang bagaimana
hebatnyapun yang sanggup memapaki tusuk kundai itu Wiro! Eeee.... aku
haus! Hik.... ambilkan air buatku Wiro! Cepat!"
"Kalau haus jilat saja air keringat!" kata murid yang lucu dan seperti
kurang ingatan pula macam gurunya. Dan dasar Eyang Sinto Gendeng manusia
aneh, dia
sama sekali tidak marah mendengar gurau yang keliwatan dari muridnya
itu, melainkan tertawa mengakak.
Tiba-tiba tawanya lenyap. "Air, Wiro! Lekas!" bentak perempuan itu. Sang
murid berlalu juga dari tempat itu. Melangkah ke sebuah pondok kecil.
Di bagian
belakang pondok ini ada sebuha gentong berisi air putih dingin. Wiro
mengambilnya segayung.
Ketika dia melangkah kembali ke tempat tadi untuk memberikan air itu
kepada gurunya maka didengarnya suara Eyang Sinto Gendeng menyanyi.
Suaranya sama sekali
tidak merdu. Namun kata-kata yang terjalin dalam nyanyian itu membuat
Wiro Saksana menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales....
Artinya: (Tujuh belas tahun telah berlalu.
Puncak Gunung Gede masih tetap seperti dulu,
Langit masih tetap biru,
Bulan dan matahari masih berpandangan jauh dan rindu.
Tujuh belas tahun membuat si tua tambah tua,
Tujuh belas tahun membuat seorang orok menjadi pemuda gagah,
Tujuh belas tahun masa perjanjian,
Tujuh belas tahun ujung perpisahan,
Tujuh belas tahun saat pembalasan).